Prolog

20.8K 790 42
                                    

Hai selamat datang, selamat membaca!

New Version (revisi)

***

"Ngapain liatin gue kayak gitu? Katarak mata lo?" desis gadis dengan rok diatas lutut itu.

Gadis berkacatama yang diajak bicara memilih bungkam dan menunduk, melanjutkan makan siangnya yang tertunda karena kedatangan bidadari hitam tak bersayap. Padahal ia hanya ikut melihat layaknya orang-orang.

Savea Amara Hakim membiasakan diri untuk membalas tatapan penilain dengan sinis.

Tidak peduli kaum adam berlomba-lomba memuaskan tatapan lapar, sedangkan sebagian kaum hawa terang-terangan mengibarkan bendera perang. Ingin rasanya Savea menyapa mereka dengan tamparan namun, sekarang waktunya tidak tepat.

Senyum sinis itu berubah kala melihat pujaan hatinya sedang makan semakok bakso dengan tenang, meski dua siluman yang menjabat sebagai teman si tampan begitu liar.

"Hai ganteng!" sapa Savea bak petir yang menyambar.

"Makasih loh Vea, gue emang ganteng," sahut Cakra, cowok aneh yang duduk di sebelah Zenon itu, bisa-bisanya menjabat sebagai ketua OSIS.

"Bukan elo! Tapi mas yang disana itu, yang buat hati adek berbunga-bunga," balas Savea centil, menunjuk Zenon.

Cakra memutar kepala angkuh. "Oh oke, kalau sampai nih bocah batu ganti nomor, merek sepatu, makanan kesukaan, gak usah spam chat gue. Sekian dari orang jelek yang punya banyak penggemar ini."

Savea memaksakan senyum imutnya. "Cakra cakep, minggir dong, gue mau duduk."

"Asal bayarin makanan kita," timpal Bima.

"Lo udah kaya anjing, masa minta gue bayarin."

Bima melotot. "Gak gue restuin lo!"

"Gue mah yang penting udah dipuji cakep aja," ujar Cakra berpindah tempat.

Zenon menatap ketiganya datar, sambil mengumpati Cakra dalam hati. Cowok itu bergesar menjauh dari Savea yang sudah duduk di sampingnya. Namun sayang, cewek gila itu semakin memepetkan tubuhnya. Zenon mendesah pasrah sebab sudah terhimpit tembok.

"Mas ganteng udah makan belom?"

Seperti biasa mulut Zenon terkunci rapat.

"Udah cinta belum sama Vea?"

Bima dan Cakra saling melirik satu sama lain. Antara pengen ngakak dan kasihan, jawaban kawan mereka itu sudah pasti, "Gak bakal."

"Kapan, sih bilang udahnya?"

Savea tidak akan menyerah meski yang dijak bicara tidak menjawab. Sudah terbiasa.

"Oncom bakal jawab kalau lo traktir kita bakso, sumpah manjur tuh cara," ujar Bima.

"Betul itu!"

"Kalian berdua bisa diam gak sih?" Savea mendengus. "Awas aja, berani panggil panggil cowok gue ocom lagi, gue gorok lo! Bonyoknya kasih nama bagus-bagus malah dipanggil ocom!"

"Saya bukan cowok kamu."

Mendengar jawaban ketus sahabat batu mereka, Cakra dan Bima kompak menggebrak meja, membuat atensi semua orang makin fokus ke meja mereka. "WODOH, SAMPE ATI BANGSAT!"

"Sampai kapan kamu ngomong formal terus ke aku?"

Savea tak habis pikir dengan gaya bicara Zenon kepadanya. Seolah cowok itu selalu ingin membangun benteng kokoh di antara keduanya. Bahkan jika mereka harus membangun percakapan dengan embel lo-gue pun, seperti remaja pada umumnya, Savea tidak masalah.

"Kenapa sih setiap aku tanya kamu selalu diam?"

"Karena aku terlalu akrab buat kita yang asing. Puas?"

Savea membisu.

Zenon and Savea (NEW VERSION) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang