Chapter 2

2.7K 234 66
                                    

"Aduuuuhhh... aku mau kemana lagi ini toh? Uang pegangan tinggal 25 ribu. Mana cukup buat sewa kamar? Jalan satu-satunya yo tidur di emperan atau ndak di depan toko yang tutup!" gumam Robert.

Robert pun membeli nasi bungkus seharga lima belas ribu rupiah di sebuah rumah makan kecil, kemudian menyantap makanannya tersebut.

Setelah perutnya terisi, dia langsung membuka ponselnya. Baru dinyalakan, berbagai notifikasi bermunculan disana. Termasuk telpon dari Bude, bahkan Ayahnya.

Robert tak peduli. Dia tidak mau dijodohkan. Dia masih sangat begitu muda untuk menikah. Dia hanya ingin hidup seperti remaja lainnya. Kalaupun harus, dia akan bekerja sendiri dan mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Robert buntu. Dia tidak tahu harus memulai darimana. Dia sangat lelah rasanya. Hingga malam tiba, Robert pun tertidur di depan toko yang tutup. Dia mejadikan tas besarnya sebagai bantal, juga mengambil beberapa pakaian untuk menyelimuti badannya.

Ditengah dinginnya malam, dan suasana yang hingar bingar, lelaki manis itu tertidur di sembarang. Berdoa dan percaya, bahwa esok akan baik-baik saja.

~

Robert terbangun seketika dan terkejut bahwa seekor anjing tengah menjilat-jilati lengannya.

"Hehhh hehhh... husss husss..."

GUKK!!! Anjing itu menggonggong karena terkejut, lalu berlari pergi.

"Enak aja, main njilat-jilati tangan orang! Wong punya tangan sendiri kok! Asuuu!!!" cetuk Robert.

Seiring Robert berdiri dan mencuci mukanya pada keran air dekat toko tersebut. Sehabis itu, perutnya keroncongan persis sehabis dia menyeka air di wajahnya.

"Duuuh, iki perut mbo yo pengertian sedikit loooh, baru juga bangun, sudah kelaparan" keluh Robert.

Seiring Robert memeriksa uangnya di saku celananya. Kemudian dia menyadari bahwa sesuatu telah hilang darinya. "Loh... dompetku mana??? Astagaaa..."

Robert menghampiri tasnya, mencari-cari dompet serta ponselnya. Sama sekali tidak ada. "Ya Tuhan... bagaimana ini? Dompet sama hapeku hilanh toh!"

Robert berdiri dari duduknya, lalu menclingak-clinguk ke kiri dan kanan, tidak ada siapapun yang bisa ia tanyakan selain warung kecil yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

Robert segera berjalan menghampiri warung tersebut, "Pak... Bapak liat ada yang dateng ke tempat saya tidur tadi malam, ndak, Pak? Soalnya hape sama dompet saya hilang di dalam tas, Pak" lirih Robert.

"Waduuuh, gak tau saya, Mas! Saya baru buka juga nih. Warung saya kan gak buka 24 jam" jawab si pemilik warung kecil tersebut.

"Gitu ya?"

"Iya"

"Yowis, makasih, Pak"

"Iya sama-sama, Mas"

Robert dengan pasrah hanya bisa diam. Sial. Ini benar-benar hari apesnya. Atau mungkin juga ini adalah balasan akibat membangkang dari Ayahnya. Tapi apa salah, jika dia memiliki pikiran dan pilihan sendiri.

Jika Robert mengiyakan perjodohan tersebut, apa dia sanggup. Apa dia yakin pernikahannya akan bahagia?
Entahlah, Robert hanya ingin hidupnya saja. Dia sudah 17 tahun, seharusnya dia sudah diberikan kesempatan untuk mengontrol hidupnya dengan mandiri. Bukannya di jodoh-jodohkan seperti ini.

Perut Robert sudah sangat lapar. Dia butuh makan, paling tidak walau hanya remah roti untuk mengganjal perutnya saat ini. Tapi dia bisa apa. Kecuali mencari pekerjaan.

~

"Astaga, Paaaakk! Saya bilang apa, lewat jalan ini kan masuknya harus three in one. Sekarang gimana, dong? Kalo ketilang gimana? Saya ada meeting hari ini, kalau enggak Papi bisa marah banget sama saya" cetus Arkan, emosi pada Pak Andi, supirnya.

LOST ON YOU (END 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang