Arkan menunggu di depan gedung kantornya sendiri. Sudah beberapa menit dia berdiri dan menanti Robert disana.
Bahkan sampai satpam beberapa kali menghampiri dan menanyakan ada yang bisa di bantu, tapi tetap saja bagi Arkan, ia sama sekali tak membantu.
Yang dia butuhkan saat ini adalah Robert.
Entah mengapa perasaannya semakin kuat dan yakin semenjak tadi malam, Robert bersamanya menyantap sate kambing dan bercerita, mengobrol sederhana.
Hingga kemudian Robert yang rapih dengan kemeja biru muda seketika turun dari angkot lalu berjalan menuju gedung kantor Arzafka Industries.
Lantas dia tertegun sejenak ketika melihat Arkan sudah berdiri lama di depan pintu kantornya.
Robert mengutuk diri, karena dia terlambat. Matek aku.
Sedangkan Arkan menatap Robert yang berjalan menghampirinya penuh dengan senyuman manis.
Robert panik, "Mas... Eh, Pak Arkan... maafkan saya... saya terlambat toh iki"
"Gapapa. Sayanya juga yang kecepetan datengnya" tutur Arkan, tersenyum manis. "Maaf ya, gak jemput"
Robert malah bingung menatap Arkan, "Pak Arkan ki... kenopo toh? Wong saya yang terlambat, kok Pak Arkan gak marah? Minta maaf, lagi. Alesannya karna ndak bisa jemput. Emangnya saya siapa toh, harus di jemput-jemput segala? Wong Pak Arkan iki bosnya loh"
Seiring Arkan merangkul tangan Robert dan menariknya pelan. "Udah jangan bawel" Mereka pun menuruni tangga, dan berjalan ke parkiran.
"Loh, Pak Arkan... kita mau kemana toh???"
"Meeting!" ujar Arkan.
Robert masih kebingungan. "Nje, Pak"
~
"Sebenernya kita tuh mau kemana toh, Mas?" tanya Robert. "Mau meeting aja kok sepertinya tempatnya jauh sekali"
"Ke Ancol" jawab Arkan.
"Ke Ancol? Ngapain toh, Mas?"
"Ya jalan-jalan lah, refreshing. Ngedate!" cetus Arkan.
Robert garuk-garuk kepala, "Lah, ndak jadi meeting toh, Mas? Ketemu klien?"
"Enggak" tukas Arkan, "Gue emang sengaja aja pengen nyulik lo!"
"Masa Bos sendiri nyulik sekretarisnya toh, Mas?"
"Abis, kalo gue ajak, pasti nanti lo nolak! Mending gini aja!"
Robert pun menjawab, "Kemanapun itu... asal perginya sama Mas Galak... saya pasti mau kok, Mas"
Arkan mendadak tersenyum, mau mati, ketika dia mendengar kalimat seperti itu. "So sweet banget sih. Bisaan aja ngomong kayak gitu sekarang"
Robert mengernyitkan keningnya, "Lha, betul toh? Karena saya pasti aman kalau pergi sama Mas Galak. Wong, Bos sendiri, masa ndak bisa melindungi pegawainya ya toh???"
Arkan cemberut lagi. Perasaannya tak bisa dirangkai dengan kata-kata. Udah dibikin terbang, pas di langit langsung di lempar lagi ke bawah. Dasar Robert. Untung sayang.
~
Setibanya di pantai Ancol, Arkan dan Robert menghampiri pantai yang jelas berbeda dari pantai di Manado kemarin. Tapi hal itu tidak sangat di permasalahkan oleh Arkan maupun Robert karena yang terpenting sekarang adalah waktu dan kebersamaan.
Arkan bertanya pada Robert seketika, "Lo baik-baik aja, Bert?"
Robert mendongak, lalu mengangguk.
Arkan diam sebentar, lalu terus menatapnya. "Lo... pasti masih mikirin Hema ya?"
Robert menundukan kepalanya di tengah tiupan angin yang tidak terlalu bersahaja.
"Kenapa sih, Bet? Bukannya kita udah bahas tadi malem?" tanya Arkan.
"Apa... kalau nanti keinginan Mas Hema untuk membawa saya ke London jadi... Mas Galak akan mengikhlaskan saya, Mas?" tanya Robert.
Arkan menekuk alisnya, membuka mulutnya kecil. Dia mendekati Robert, "Bert, lo ngomong apaan sih??? Kita bukannya udah pernah bahas ini ya, sebelumnya??? Baru aja tadi malem! Lo..."
"Nje, Mas. Saya tau, tapi... saya juga bingung, Mas Hema sepertinya benar-benar menginginkan tawaran pendidikannya itu dari Pak Yugo. Sementara keinginan tertinggi lainnya adalah saya harus ikut dengannya. Dan Pak Yugo menyetujuinya, Mas. Beliau mau membiayai saya kuliah disana juga"
Mata Arkan kian berkaca-kaca. "Bert... please... please... ini bukan permintaan gue sebagai Bos ke sekretarisnya, Bet. Ini permohonan tulus dari dalam hati gue, untuk lo... please, Bet! Tolong jangan pergi... Jangan ikut Hema. Jangan tinggalin gue, tolong tetep disini, Bert!"
"Mas Galak menangis???" tanya Robert.
Seiring Arkan mengambil tangan Robert, lalu menghapus air matanya menggunakan tangan Robert. "Gue pengen lo yang terus ada sama gue. Bibir lo yang melengkung senyum tiap liat gue seneng. Tangan lo yang hapus air mata gue, tiap saat gue sedih, Bet. Please... lo jangan pergi. Lo kan udah janji mau nemenin gue usaha dari nol, Bert. Lo kalau mau kuliah, dimanapun itu gue bisa biayain kok, Bert. Cuma kalau ke luar negeri, gue gak bisa. Bukan karena gue gak mampu. Tapi gue gak bisa ninggalin perusahaan, orang tua sama anak dan istri gue, Bert"
Robert melepas tangannya dari pipi Arkan, lalu dia tersenyum. "Untuk itu toh, Mas... Mas Galak kan sudah punya anak dan istri. Sedangkan Mas Hema??? Dia sangat membutuhkan saya toh, Mas"
Arkan menjauh satu langkah, heran dengan ucapan Robert. "Lo emang maunya pergi sama Hema ya? Ninggalin gue???"
"Bukan, Mas Galak... Bukan karena itu juga! Tapi... saya sudah mikir... pergi ke luar negeri bersama Mas Hema, adalah cara terbaik untuk sembunyi dari Ayah saya toh, Mas" jawab Robert. "Untuk sekarang sekarang, saya masih bisa bernapas lega, karena Ayah saya belum bisa menemukan saya. Tapi suatu saat, cepat atau lambat, saya pasti akan bertemu dengannya, Mas. Apalagi saya, Mas Galak, Tuan Arthur dan juga Ayah saya berada di satu lingkaran yang dekat. Kita tinggal tunggu waktunya, Mas"
"Bert... lo gak perlu khawatirin itu! Gue akan usahain, sekeras hati gue untuk lo gak akan di jodohin sama Bokap lo! Okay? Gue janji! Gue akan bujuk Bokap gue untuk minta Bokap lo, agar lo gak dipaksa menikah sama gadis pilihannya" terang Arkan, "Karena..."
"Karena opo toh, Mas???" tanya Robert.
Arkan menggenggam kedua tangan Robert. "Karena gue juga gak akan pernah mau kehilangan lo, Bert. Liat lo berdua sama orang lain aja gue gak akan sanggup, apalagi kalau gue harus ditinggalin lo! Elo... udah benar-benar manusia paling tepat yang dikirim Tuhan buat gue, Robert!"
Robert terdiam memandangi wajah Arkan dengan saksama. Dia bimbang. Dia bingung. Namun dia tidak ingin membuat suasana hatinya semakin keruh. "Saya berharap... semuanya akan berjalan sesuai apa yang Mas Galak dan Mas Hema inginkan. Kalau saya... hanya bisa menerimanya saja, Mas"
Arkan mengangguk, seiring dia langsung memeluk tubuh Robert. Tak peduli dengan apapun. Dia hanya ingin memeluk Robert. Memeluknya. Erat. Tanda tak mau ditinggalkan. Tak mau berpisah. Sungguh. Jangan sampai terpisahkan.
~
Sepulangnya dari pantai, Arkan memarkikan mobilnya di parkiran kantor lalu turun bersama Robert menuju lobi kantor tersebut.
Lantas seketika, begitu Arkan dan Robert memasuki ruangan luas nan dingin itu, baik Arkan maupun Robert sama-sama tertegun. Menganga. Kaget. Tersontak bukan main begitu dihadapannya kini, terlihat jelas Tuan Arthur, Kristoff dan juga gadis yang bernama Issabel. Mereka berdiri dari duduknya di sofa tunggu.
Robert gelagapan, memandangi Arkan sesekali. Dia takut. Panik bukan main.
"Jadi selama ini, kamu ada disini, Robert??!!!" cetus Kristoff Wiguna, membuat Robert semakin ketakutan.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST ON YOU (END 21+)
FanfictionWARNING : CERITA INI BERUNSUR LGBT, DAN MENGANDUNG KALIMAT KASAR. TIDAK DI ANJURKAN UNTUK HOMOPHOBIA. Ini cerita tentang seorang laki-laki yang (bisa juga) jatuh cinta. Robert Wiguna (17) lulus SMA dari Desa Kartasari, Jatim. Dia tinggal bersama Bud...