Bandara penerbangan itu terlihat begitu ramai dan riuh dengan suara orang berbicara, hentakkan kaki atau teriakan anak kecil serta pengeras suara bagian informasi penerbangan.
Arkan turun dari mobilnya bersama Robert. Robert membantu mengeluarkan barang-barangnya bersama Pak Muhlis.
"Pak Muhlis. Saya pesan sama Bapak, tolong jangan pernah menyebut nama Robert di rumah nanti. Paham?"
"Paham, Tuan Muda"
"Pak Muhlis tau kan, kalau ternyata Ayahnya si Robert itu Pak Kristoff?"
"Iya, Tuan Muda. Saya tahu"
"Jadi tolong, jangan gegabah. Kalau sampai Pak Kristoff tahu tentang Robert, otomatis saya akan kehilangan Robert. Kalau saya kehilangan Robert, berarti saya juga kehilangan sekretaris. Dan kalau sampai saya kehilangan sekretaris, hanya karena Pak Muhlis. Berarti Pak Muhlis juga harus siap menghilang dari saya. Pak Muhlis paham?"
"Siap, paham, Tuan Muda"
"I think so. Gotta go. Saya duluan" ujar Arkan pada Pak Muhlis.
Sedangkan Robert, cium tangan ke Pak Muhlis. "Pergi dulu, Pak. Monggo"
"Eh, ndak usah cium tangan segala, Mas Robert" ujar Pak Muhlis.
"Sik lah, sudah terlanjur. Yok mari, Pak" pamit Robert.
Pak Muhlis tersenyum sambil geleng-geleng. Lalu dia masuk mobil dan pergi meninggalkan parkiran di depan terminal Bandara tersebut.
~
"Mas Galak... saya ki, sebelumnya ndak pernah naik pesawat loh, Mas" ujar Robert seketika. Mereka berdua duduk di kursi tunggu panggilan penumpang.
"Gue juga belum pernah" jawab Arkan.
"Hah? Moso sih, Mas? Mas Galak belum pernah naik pesawat???"
"Belum pernah satu pesawat sama orang udik kayak lo!" sambung Arkan.
Robert manyun. "Mas Galak ki, yo ada ada saja toh"
"Udah deh, jangan bawel. Kita tinggal tunggu panggilan penumpang aja" ujar Arkan.
"Siap, Mas" ujar Robert.
Sejurus Arkan merasakan ngilu di tangan kanannya saat hendak bergerak. Rasanya seperti keseleo. Dia meringis pelan, "Aahhh... sshhh"
"Kenopo toh, Mas?" Robert khawatir.
"Gak tau, tangan gue keseleo deh kayaknya" kata Arkan.
"Mana coba, Mas. Biar saya pijit tangannya yang keseleo"
"Emang lo bisa?"
"Bisa toh, Mas. Dulu saya sering mijit Bude saya toh di kampung" Robert mengambil tangan Arkan pelan-pelan dan menaruhnya di atas pahanya. Lantas dia pun memijati tangan Arkan dengan hati-hati.
"Sshhh, pelan-pelan, Bert"
"Terasa sakit karena ndak licin toh, Mas. Makanya mesti di lumasi dulu pake minyak, biar licin dan enak" cetus Robert.
Mendengar kalimat Robert barusan, otak Arkan malah berpikir kemana-mana. Ngeres. "Enak apanya?"
"Ya mijitnya toh, moso ngunyah, emangnya di makan"
"Ooohh, gue kira..."
"Kira opo???"
Pengeras suara bagian informasi panggilan penerbangan pun bersuara, memberikan informasi bahwa penumpang berikutnya harus siap untuk memasuki pesawat.
"Yuk! Kita udah dipanggil tuh"
"Astaga, sama siapa toh, Mas?"
"Sama Tuhan!!!" cetus Arkan, galak. "Ya itu informatornya tadi ngomong di speaker. Kita mesti naek pesawat, geblek!"
"Ooohhh, nje Mas"
"Tiap hari bikin gue naek darah aja lu! Bawaannya nyap nyaaaaap mulu gua nih ah!"
"Maaf toh, Mas"
"Udah cepetan ayo!"
"Nje, Mas" Robert pun mengikuti langkah Arkan berjalan menuju pesawat business class.
~
"Kenapa lo?" tanya Arkan yang melihat Robert duduk disampingnya nampak tak tenang di dalam pesawat itu. "Gak pernah naik business class ya?"
"Mas Galak jangan ngeledek dong, saya kan ndak pernah naik pesawat toh, Mas" jawab Robert.
"Mulai sekarang biasain. Karena kerjaan gue sebulan bisa 4 sampe 5 kali ke luar kota atau daerah"
"Moso toh, Mas?"
"Iyalah"
"Matek!"
"Siapa yang mati?"
"Saya toh"
"Ya elo, bukan gue!"
"Nje, Mas"
Arkan memutar bola matanya, lalu berujar, "Lo liat aja, Bert. Suatu saat nanti, gue bakal punya maskapai sendiri. Pabrik-pabrik sendiri. Industri sendiri. Jet pribadi, kapal pesiar sendiri, and many stuff"
Robert tersenyum melihat keoptimisan Arkan, "Amiiiiiinnn..."
"Doain ya"
"Saya selalu doakan yang terbaik untuk Mas Galak"
"Kalo gitu mulai hari ini lu jadi saksi, temen gue dari gue masih nol. Masih anak Papi gue"
"Jangan lupa terus berdoa, Mas"
"Iyaaa, bawel!"
Lantas pesawat pun bergerak pelan, menandakan bahwa ia sedang berjalan melewati jalurnya dan beberapa putaran. Seiring lambat laun pesawat tersebut berjalan semakin cepat hingga berguncang hebat. Membuat Robert semakin panik dan menutup matanya.
"Bert, bisa santai aja gak sih? Ini cuma take off" seru Arkan.
Robert malah semakin ketakutan dan refleks memeluk tubuh Arkan disampingnya. "Takuuuut, Maaass"
Arkan melihat sekelilingnya dengan sedikit malu, untung tak banyak orang yang duduk di sekitarnya, sehingga dia tidak perlu merasa terlalu malu. "Bert, coba dong ah. Santai aja"
Pesawat pun sudah berada di atas ketinggian 30.000 kaki, terbang dengan normal. Guncangan berhenti.
Arkan menoleh ke arah Robert yang masih memeluknya. "Mau sampe kapan lo begini, hah? Sampe landing?"
Robert membuka matanya pelan, lantas perlahan-lahan menclinguk ke arah jendela pesawat. Dia melotot, "Astaga naga, tinggi sekali toh, Mas. Jadi iki lho, rasane naik pesawat"
"Udah ah, jangan norak"
"Nje, Mas"
~
Robert tertidur pulas sekali di kursi pesawar, bahkan sampai membuka mulutnya kecil. Arkan memperhatikannya sambil geleng-geleng, lantas memperbaiki posisi mulut Robert yang terbuka. "Ada laler masuk aja, baru tau rasa lu!" cetusnya.
Selesai Arkan memperbaiki posisi mulut Robert, kepala Robert malah terjatuh pada bagian perut Arkan.
"Eh, aduuuhh, Bert! Yang bener aja lu kalo tidur" cetus Arkan.
Nyatanya tanpa sadar, tangan kanan Robert mendarat di bagian penis Arkan.
"Robeeerrrttt... aduuuhh. Ngeribetin lu! Ngapain sih megang-megang itu gua!" cetus Arkan.
"Mas Hemaaa... jangan pergi, toh" igau Robert.
Igauan Robert tadi mampu membuat Arkan terdiam dan berpikir. Hema. Siapa Hema. Kenapa nama Hema yang muncul di igauan Robert barusan. Sepenting itukah Hema sampai masuk ke dalam alam bawah sadar Robert.
Ah, sial. Kenapa juga gue mesti musingin. Emang dia siapa. Peduli amat gue sama nih bocah kampung. Paling juga orang gak penting doang tuh si Hema-hema itu.
Duuuh, kenapa gue malah ngerasa sedikit cemburu gini sih?
Kampret.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
LOST ON YOU (END 21+)
FanfictionWARNING : CERITA INI BERUNSUR LGBT, DAN MENGANDUNG KALIMAT KASAR. TIDAK DI ANJURKAN UNTUK HOMOPHOBIA. Ini cerita tentang seorang laki-laki yang (bisa juga) jatuh cinta. Robert Wiguna (17) lulus SMA dari Desa Kartasari, Jatim. Dia tinggal bersama Bud...