Chapter 7

1.8K 190 9
                                    

Setibanya di rumah, Robert membuka pintu rumah tersebut dengan perasaan tak keruan. Bahkan dia juga turut kebingungan ingin berkata apa pada Pak Faiz kalau sampai dagangannya tidak laku hari ini.

Begitu Robert sampai di ruang tengah, Hema yang sibuk menonton TV dengan kaus letbong hitam turut memandanginya dari atas sampai bawah ke arah Robert dari tempatnya. "Dari mana lu???" tanya Hema pada Robert.

"T-tadi habis..."

"Baju siapa nih yang lu pake???" tanya Hema sambil berdiri. "Nyolong ye lu?"

Robert menggeleng, gelagapan. "Ndak kok. Sama skali ndak toh, Mas. Saya ndak pernah mencuri"

"Jangan bohong!"

"Bener toh, Mas. Sumpah"

"Berarti lo jual diri!"

"Astaga, Tuhan. Mas Hema kenapa makin ngaco ngomongnya toh, Mas?" tanya Robert.

"Ya gue heran lah! Lo pulang bisa pake outfit bagus. Sedangkan susu kacang lo masih banyak gini" cetus Hema.

"Mas Hema jangan salah sangka dulu toh, Mas. Tadi kebetulan saya ndak sengaja bertemu dengan Mas Galak. Lalu saya di ajak untuk nemenin dia beli mainan di Mal. Mungkin karena dia malu jalan sama saya, makanya dia belikan saya pakaian baru, Mas. Gitu toh, Mas ceritanya"

Hema malah tertawa kecil. "Bego" imbuhnya.

Robert memandang heran, "Loh, kok Masnya bilang saya bego toh, Mas?"

"Heh! Kalo dia malu jalan sama lu, ngapain dia pake acara ngajakin lu untuk nemenin lu? Mikir dong! Dia kan bisa ajak temen dia yang lain. Yang sekelas sama dia" cetus Hema.

Robert terdiam sejenak. "Dia sudah ndak sekolah kok, Mas Hema. Dia sepertinya sudah kerja dan orang berada"

"Hah?" Giliran Hema yang di buat bingung.

"Iyah. Dia ndak mungkin sekelas sama saya. Wong saya juga sudah lulus SMA toh"

Hema menggerutu pelan, "Bangsat"

~

Sementara di rumah besar yang lebih tepatnya bisa disebut istana, Arkan merasa gamang di atas balkon kamarnya. Dia dapat mendengar suara keramaian dari arah ruang tengah. Suara tawa riuh nan heboh ibu-ibu muda yang tak mau kalah aksi. Entah mengadakan arisan, bergosip ria, atau hanya sekadar ngumpul-ngumpul tak jelas, Arkan tak peduli. Dia bahkan sudah sejak lama tak memperdulikan hal apapun yang dilakukan istrinya. Dia hanya bisa marah. Marah pada keadaan. Marah pada dirinya sendiri. Marah karena tidak bisa melakukan apa-apa. Marah ketika di paksa untuk menikahi Maudy di usianya yang terbilang sangat muda. Rasa cintanya kini hanyalah pada Arsen. Anak semata wayangnya.

Tapi kali ini, perasaan Arkan, si Tuan Muda itu gamang sementara. Pikirannya kemana-mana. Dia merasakan sesuatu yanh berbeda saat tadi berpisah dengan Robert. Saat Robert mengatakan sesuatu yang membuatnya terasa di tikam sembilu.

Arkan merasa kacau. Pikirannya jenuh. Mengudara dan mengabu. Dia butuh sesuatu. Mesin waktu. Cuci otak. Remah roti. Apa saja jika itu bisa membuatnya merasa lagi tenang.

"Robert... lu itu cuma anak gembel. Yang gak berhak ngomong kayak gitu ke gue. Sialan. Lu bukan siapa-siapa. Dasar udik" cetus Arkan seketika.

Namun Arkan terpikir lagi. Wajahnya berubah biru. "Tapi kenapa rasanya aneh gini sih. Siaaaaalll. Kenapa gue terus-terusan ngerasa bersalah?"

"Dad..." suara anak kecil yang khas di telinga Arkan, memanggilnya.

Arkan mendongak ke bawah, melihat ke arah anak tampan yang begitu mempesona baginya. Seumur hidup. "Hai kiddle. What are you doing?"

LOST ON YOU (END 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang