***Makin ke sini hubungan gue sama Deran bisa dibilang semakin tidak-tidak baik saja. Kayanya sulit banget untuk kembali seperti dulu lagi, karena sejak kejadian di cafe, Deran kayanya udah bodoamat sama gue. Dia udah gak jemput gue ke sekolah lagi, dia udah gak maksa gue untuk pulang bareng lagi.
Jujur aja, gue kangen dia. Kangen banget. Tapi entah apa alasannya, gue gak bisa maafin dia.
"Pentolnya di makan Sit, bukan dipelototin gitu."
Gue langsung tersadar dari segala kegalauan, siang ini gue lagi sama Raka di kantin. Tadi dia yang nyeret gue ke sini.
"Apa perlu gue suapin?"
Gue menggeleng pelan, dengan rasa amat malas, gue memasukkan pentol yang sudah di potong-potong kecil ke dalam mulut.
"Gimana? Enak gak?"
Masih dengan mulut yang penuh dengan pentol, gue menjawab, "Apanya?"
"Pentolnya lah."
"Apa sih Ka? Gak bermutu banget pertanyaan lo!"
"Apanya yang gak bermutu? Gue kan cuman nanya enak apa enggak pentolnya?"
"Enak! Puas lo?"
"Ya elah mbak, sensian amat sih?"
Brakkkk
Gue dan Raka hampir memekik barengan saat ada seseorang yang mengebrak meja kita berdua dengan keras.
Gue langsung menoleh ke si pelaku, setelah itu gue menatapnya nyalang, "Mau apa lo hah?!"
"Gue mau ngomong sama lo!" ujar Nina menunjuk wajah gue.
Gue menatapnya benci, sangat benci! Dia lah perusak hubungan gue! Andai saja tidak ada nama Nina di antara hubungan gue sama Deran, pasti semua akan baik-baik saja.
Gue menepis kasar tulunjuknya yang ada di depan wajah gue, "Yaudah ngomong aja!"
"Gak di sini!" Nina beralih menatap Raka yang duduk di samping gue, "Dan berdua!"
"Mau lo apa lagi sih Na?" kini Raka yang sudah berdiri menghadap si lampir itu.
Nina marah, tangannya menunjuk Raka, "Diem lo Rak! Gue gak ada urusan sama lo!" Nina kembali nunjuk gue, "Urusan gue sama dia!"
Gue kembali menepis tangannya, kali ini lebih kasar lagi, setelah itu gue ikutan berdiri menghadapnya dan menatapnya penuh kebencian, "Sekali lagi lo nunjuk-nunjuk tangan gue, gue jamin tinggal empat jari lo!"
"Gak usah basa-basi! Ikut gue!" Nina narik tangan gue kasar.
"Sita sama gue!" Kini Raka juga ikut megang tangan gue yang sebelah kiri.
"Kalau lo berani sama gue! Ayo kita bicara!"
"Gak usah di dengerin Sit. Dia gila!"
Gue menghela nafas kasar, menyentak kasar tangan Nina, setelah itu gue beralih menatap Raka yang masih setia megang tangan gue, "Gakpapa Ka biarin gue pergi sama nenek lampir ini."
"Tap--"
"Ka!"
Raka menghela nafasnya kasar, dengan wajah terpaksa dia ngelepasin cekalannya.
"Ikut gue!"
Gue nurut dan ngikutin kemauan Nina. Ada apa lagi ini? Kenapa orang ini gak cukup bikin gue sakit hati. Apa maunya dia sih?
Nina berhenti di tempat yang lumayan sepi.
"Lo mau ngom--"
Plakkkkk
Nina nampar pipi gue. Garis bawahi Nina lampir nampar pipi gue sebelah kiri.
"Udah puas lo hah?!" Teriaknya marah di depan wajah gue.
Sementara gue memejamkan kedua mata gue, menarik dan menghembuskan nafas untuk menahan emosi gue. Gue cuman mau tau aja, apa tujuan dia bawa gue ke sini dan marah-marah gak jelas.
"Udah puas lo buat Deran menderita?!"
"Gak usah basa-basi! Maksut lo apa?!"
"Gara-gara lo! Deran pergi dari rumahnya, sialan!"
Deg
Apa katanya? Deran pergi dari rumahnya? Maksutnya Deran minggat gitu? Kenapa? Dan apa katanya? Ini gara-gara gue?"Deran pergi dari rumahnya? Sejak kapan?"
"Haha bahkan lo pacarnya gak tau Sita! Semenjak ada lo, kehidupan Deran semakin kacau, dan itu gara-gara lo!"
"Lo apa-apaan sih Nin?! Lo ngapain nyalahin gue hah?!"
"Masih tanya? Semenjak Deran kenal lo, hidup dia lebih menderita tau gak sih lo!"
Plakkkkk
Kini giliran gue yang nampar dia.
"Seharusnya gue yang marah Nin! Gara-gara lo hubungan gue sama Deran jadi berantakan! Lo itu perusak hubungan orang!"
Nina memajukan langkahnya, matanya melotot merah, "Seharusnya gue yang ngomong gitu! Gue kenal Deran lebih dulu dari pada lo! Coba aja lo gak ada, pasti sekarang gue bahagia sama dia!"
Ucapan Nina bikin gue terdiam. Deran dan Nina sahabatan sejak kecil, tapi Deran milih gue sebagai pacarnya, itu berarti dia cinta sama gue dong? Dan bodohnya gue udah nuduh dia yang enggak-enggak karena kejadian di kolam renang waktu itu.
Kalau Deran gak cinta sama gue, pasti dia udah mutusin gue sejak lama.
Dan dengan teganya waktu itu gue bandingin dia dengan orang lain. Hal yang paling dibenci semua orang. Siapa sih yang gak benci jika dibandingin? Tapi dengan sabarnya, dia cuman diem doang.
Bahkan setelah apa yang gue lakukan kepadanya di cafe, dia masih sempat-sempatnya khawatirin gue, terbukti saat dia ngikutin gue sampai rumah.
"Kenapa lo diem hah?! Gue minta lo putusin Deran, mungkin dengan cara lo mutusin dia dia bakal mau!"
Gue kembali mendongak, menatap Nina, "Gak waras lo ya!"
"Cukup selama ini dia tertekan, jangan lagi ditambahin beban seperti lo!"
"Pasang telinga lo baik-baik, sampai kapanpun gue gak akan pernah mutusin Deran! Gak akan pernah!"
"Masih belum ngerti juga ya? Gara-gara kejadian di rooftop orang tuanya marah besar tau nggak! Mereka udah maksa Deran buat mutusin lo, tapi gobloknya Deran gak mau dan malah milih pergi dari rumahnya! Ini semua gara-gara lo sialan!"
Apa? Deran menentang orang tuanya cuman buat mempertahanin gue? Bahkan guenya malah jahat sama dia! Astaga apa yang udah gue lakukan.
"Putusin dia Sita. Biarkan Deran bahagia."
Plaakkkk
Gue kembali nampar Nina, kali ini lebih keras.
"Coba gak ada lo Nin! Semuanya gak akan terjadi! Pasti gue baik-baik aja sama Deran! Di saat Deran lagi terpuruknya, gue malah nambahin beban buat dia dan ini semua gara-gara lo! ELO YANG SIALAN ANJING!" gue mendorong kasar tubuh dia sampai dia jatuh tersungkur ke tanah.
"Denger baik-baik Nin! Meskipun gue sama Deran putus, lo tetep gak bisa milikin dia! Karena di hatinya cuman ada nama gue! Cuman gue! Dan lo harus tau diri untuk nyadar kalau lo itu cuman sebatas sahabatnya!"
Nina masih tersungkur di sana tanpa berniat berdiri, dia cuman natap gue sambil memegang dadanya sendiri, nafasnya ngos-ngosan, dia seperti orang kehabisan nafas.
"Hah hah hah hah."
"Mati aja lo Nin!" Gue meninggalkannya tanpa ada rasa salah. Sudah cukup gue diam selama ini, kali ini kesabaran gue sudah habis sehabis habisnya.
***
Hallo!
Cuman mau bilang, di part selanjutnya ada flashbacknyaJangan lupa vote dan komen
Mau lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
DERAN✓ [Completed]
RandomBerjuang sendiri. Itu yang aku rasakan. Ada, namun tak dianggap. Aku memang pacarnya, tapi sikapnya yang dingin membuat aku lelah. Dia terus berlari, tanpa dia sadari aku mengejarnya. Capek? Iya tentunya sangat capek, namun aku tidak rela untuk mele...