"Saya terima nikahnya Resita Rambayung Desti dengan mas kawin dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!"
Sampai sekarang Sita masih tidak menyangka jika kata-kata itu sudah keluar beberapa jam yang lalu.
Dan sekarang dirinya sudah menjadi seorang istri? Sungguh tidak dapat percaya! Pernikahan ini terlalu mendadak buatnya, tetapi tidak menutup kemungkinan jika pernikahan ini sungguh membuatnya bahagia.
Sita menatap wajahnya yang sudah terbebas dari make up pada cermin di depannya. Bahkan tubuhnya sudah terbaluti piyama tidur bewarna putih susu, selaras dengan warna kulitnya. Tangan Sita meraih sisir lalu menyisir rambut panjangnya secara perlahan.
Ceklek
Suara pintu yang terbuka membuat Sita menghentikan aktifitas menyisirnya, reflek kepalanya menoleh ke belakang.
Deran yang sudah lengkap dengan piyama tidur sudah masuk ke dalam kamar. Sita menelan ludahnya sendiri, jantungnya berdetak tidak karuan.
"Belum tidur?"
Entah kenapa suara Deran terdengar sexy di telinganya, hal itu justru membuat bulu kuduknya merinding. Sita menggelengkan kepalanya, bisa gawat kalau pikirannya dibiarkan begitu saja.
"Sita?"
"Eh? Belum! Ini mau tidur!" Sita segera beranjak dari tempat duduk lalu melangkah menuju ranjang miliknya. Ia langsung menarik selimut untuk menutup seluruh tubuhnya. Jangan ditanyakan keadaan jantungnya sekarang, yang pasti masih berdetak tidak karuan.
Sita merasakan, ranjang di sampingnya bergerak. Itu tandanya Deran ikut berbaring di sampingnya.
Anjir gue harus apa?
Jujur Sita sendiri bingung harus apa. Malam pertama? Apa harus dilakukan sekarang? Tetapi Deran kenapa diam saja? Kenapa dia tidak meminta kepada dirinya? Apakah Deran tidak minat dengan tubuhnya? Perasaan tubuhnya tidak tepos-tepos amat!
Persetan dengan itu! Sita membuka selimutnya sebatas dada. Membalikkan badannya, menatap Deran yang terbaring memunggunginya.
"De, udah tidur?"
Deran membalikkan badan, "Belum. Ada apa?"
Hal itu justru membuat Sita salting. Huff masa harus pihak perempuan yang memulai? Tapi kalau didiamkan saja tentunya Deran tidak akan peka.
Sita menggigit bibir bawahnya sendiri, "Itu. Kamu gak mau minta hak kamu?"
Deran terdiam yang membuat Sita bingung sekaligus cemas. Apakah Deran menolaknya?
"Ya sudah."
"Hah?"
"Kita shalat sunnah dulu."
Jantung Sita semakin berdetak tidak sehat, apakah saat ini dirinya harus jujur? Jujur Sita sangat takut, takut kalau Deran marah lalu meninggalkannya.
"Sebelum itu aku mau jujur De."
"Iya."
"Aku." Sita memejamkan kedua matanya, meramas selimutnya dengan kuat, "Aku takut."
"Kenapa takut?"
"Aku takut."
"Kenapa?"
"Aku takut kamu marah."
Deran terdiam sejenak, kemudian mengubah posisinya yang tadinya terbaring menjadi duduk, dengan punggung yang disandarkan di kepala ranjang, "Saya tidak marah."
Sita ikut mengubah posisinya seperti Deran. Sementara kedua tangannya meremas selimutnya dengan kuat, "Aku mau jujur sama kamu, aku salah. Seharusnya dari awal aku bilang ini, aku akui aku salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
DERAN✓ [Completed]
RandomBerjuang sendiri. Itu yang aku rasakan. Ada, namun tak dianggap. Aku memang pacarnya, tapi sikapnya yang dingin membuat aku lelah. Dia terus berlari, tanpa dia sadari aku mengejarnya. Capek? Iya tentunya sangat capek, namun aku tidak rela untuk mele...