49.

282 34 3
                                    

Jangan lupa vote

Komen yang banyak ya.
.
.
.
.

Adhaza terus berlari menuju tempat yang membuatnya selalu merasa tenang. Air matanya terus mengalir tanpa henti disertai isakan.

Sampai pada akhirnya ia sampai di taman belakang. Tubuhnya langsung merosot ke bawah, kakinya terasa sangat lemas sekarang. Bulir air matanya terus mengalir tanpa henti, isakan yang tadinya terdengar sangat pelan kini mulai terdengar cukup keras.

Adhaza menyembunyikan dirinya tepat di balik pohon besar dan rindang. Suara langkah kaki seseorang membuat Adhaza kembali menahan isakan nya agar tidak terdengar oleh orang itu. Kedua kakinya ia tekuk lalu kepalanya ia tundukkan.

“Kenapa?” tanya Endra yang sudah berjongkok di depan Adhaza.

Adhaza yang merasa mengenali suara tersebut mengangkat kepalanya dan menatap Endra yang sudah ada di hadapannya.

Karena pertanyaannya tidak dijawab oleh Adhaza, Endra memutuskan untuk mendekati Adhaza. Perlahan tangannya menghapus air mata yang berlinang di pipi Adhaza.

Bughh

Seketika Endra langsung tersungkur karena ulah Gerald yang melayangkan bogemannya secara tiba-tiba. Endra menatap Gerald yang sedari tadi juga menatapnya.

Tatapan Gerald kali ini sangat berbeda dari sebelumnya. Endra merasa, laki-laki yang ada di hadapannya ini sedang dalam keadaan emosi.

“Kenapa lo masih deketin Caca? Gue perintahin jauhin Caca, kenapa masih lo deketin anjing?” tanya Gerald mendekati Endra dengan tangan yang sudah mengeluh bersiap untuk melayangkan bogemannya lagi.

“Belum puas bikin dia sakit hati?” tanya Gerald meraih kerah baju Endra.

Endra menepis tangan Gerald yang menarik kerah bajunya. Tanpa berkata-kata apapun Endra langsung pergi meninggalkan Gerald dan Adhaza.

Sebelum pergi Endra menatap Adhaza yang sedang menangis sesenggukan tengah menatap nya.

“Belum puas buat jatuhin harga diri? Cihh, Banci!” Sindir Endra lalu melangkahkan kakinya menuju koridor.

Rasanya Gerald ingin menghajar Endra sekarang, namun lengannya ditahan oleh Adhaza. Gerald membalikkan badannya dan menatap Adhaza yang sedang menangis seraya menggelengkan kepalanya yang mengisyaratkan sebuah larangan.

Gerald menundukkan kepalanya seraya menghela nafas. Detik berikutnya ia langsung jongkok tepat di depan Adhaza lalu membawa Adhaza ke dalam pelukannya.

“Udah, jangan nangis. Mereka nggak pantes buat lo tangisin,” ucap Gerald.

Adhaza melepaskan pelukannya lalu menatap Gerald.

“Kenapa lo ngomong gitu?” tanya Adhaza.

“Ya karena, orang munafik kayak mereka nggak pantes buat lo tangisin apalagi lo belain.”

“Lo seneng gue dijauhin sahabat gue?” tanya Adhaza yang kini sudah mulai berdiri.

“Iya lah. Eh, maksud gue, gue suka karena mereka nggak ngusik lo lagi.”

Adhaza menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Gerald, namun ia tidak ingin memperpanjang masalah jadi ia memutuskan untuk pergi dari situ.

“Ca, lo mau ke mana?” tanya Gerald namun tidak ada jawaban dari Adhaza.

Gerald berniat untuk mengejar Adhaza namun lagi-lagi tangannya ditahan oleh seseorang. Gerald membalikkan badannya dan melihat siapa yang mencoba menahan tangannya.

Senior Cold {SUDAH TERBIT}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang