🕸49 | Don't Leave Me

1.2K 108 40
                                    

Haii. Sebelum baca, bantu aku share cerita ini yuk! Add ke reading list kalian dan ajak temen-temen buat baca yaa. Karena satu share dari kalian itu sangat berarti buat aku😄

Semoga suka. Jangan lupa vote dan komen.

Sayang kalian celalu...💜😘

Sadena kini telah ditangani oleh pihak medis yang bertugas, namun pikiran Selin tetap kalut dan seringkali terlintas hal-hal negatif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sadena kini telah ditangani oleh pihak medis yang bertugas, namun pikiran Selin tetap kalut dan seringkali terlintas hal-hal negatif. Air mata cewek itu pun semakin menjadi kala setengah jam berlalu Sadena belum sadarkan diri.

 Air mata cewek itu pun semakin menjadi kala setengah jam berlalu Sadena belum sadarkan diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cepat bangun Dena," katanya sendu. Mengusap punggung tangan Sadena yang berbalut kasa. Cowok itu terbaring lemah di brankar. Matanya terpejam rapat dan wajahnya seperti memucat.

Sekarang mereka berada di ruangan rawat khusus petarung. Namanya saja ruang rawat, padahal di tempat pengap ini tidak ada hal yang terlalu berguna untuk pengobatan. Selain kasa, obat merah, sebuah sofa coklat, dua brankar, dan dua kursi kayu.

Selin yang duduk di kursi kayu itu menghela napas. Menatap dengan sedih lebam di bagian perut, rahang, tangan dan pipi Sadena.

"Maafin aku Dena. Ini semua gara-gara aku." Rasa bersalah terus saja membayangi pikiran cewek itu. Selin menjatuhkan kembali air matanya. "Coba aja aku nggak ikutin kamu waktu itu. Zoe nggak bakal liat aku dan dia--"

"Sel." Tiba-tiba panggilan itu mengalihkan perhatian Selin.

Steve muncul dari ambang pintu, ia mendekat, mengulurkan sekotak susu yang ditanggapi Selin gidikan bahu.

"Nggak mau," tolaknya. "Aku nggak mau minum sebelum Dena bangun. Nggak nafsu."

"Makan?" Steve membujuk.

Cewek itu menggeleng murung, lalu memfokuskan pandangannya pada wajah Sadena. Selin tidak mau apa pun, selain melihat kekasihnya itu membuka mata.

Steve mendengus berat dan menarik satu kursi untuknya duduk. "Muka lo pucet terus hidung lo merah tuh. Dari tadi nangis mulu," katanya.

Selin mendelik tajam dan bersuara, "Situ nggak ngerti perasaan aku mending diam aja!"

"Dih!" Steve tersentak. "Galak ye kalo lagi sedih."

SadenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang