99 : Tolong Menolong

1.3K 277 23
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

Malam ini kafe tak begitu ramai, mungkin karena malam ini adalah malam selasa, jadi banyak orang yang sibuk dengan urusan-urusan mereka. Nisa membawa Sherlin ke kafe. Ya, selama Tama pergi KKN, Sherlin tinggal bersama dengan Nisa. Seorang pria dengan penampilan seperti seorang pegawai yang baru saja pulang kerja masuk ke dalam kafe dan memilih duduk di depan bar. Sherlin memperhatikan orang itu dengan seksama, sebetulnya ia tak memperhatikan orang itu, tetapi sesuatu yang berada di pundaknya.

"Duh, akhir-akhir ini pegel banget," ucap pria itu.

"Pijit, Pak biar seger," balas Andis yang berada di dalam bar.

"Udah e, Mas, tapi tetep ga ilang pegelnya," balas pria itu lagi.

"Pesen kopi tubruk, Mas. Pake biji kintamani ya." Pria itu sepertinya bukan sekali dua kali datang ke mantra, tetapi biasanya ia berbincang dengan Dirga yang sering berada di balik bar.

"Nisa, tubruk kintamaninya satu," ucap Andis pada Nisa yang mengisi posisi barista.

"Laksanakan!" jawab Nisa.

Tak butuh waktu lama, kopi khas kota Bali tersebut sudah berada di depan penikmatnya. Pria itu mengambil cangkirnya dan mendekatkan bibir cangkir ke hidungnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah menyeruput aroma kopi.

"Muaaantap,"tuturnya.

Andis keluar bar dan berdiri tepat di belakang pria itu. "Yang enak itu minum kopi sambil dipijit, Pak." Andis memijit santai pundak dan leher belakang pria itu.

"Wah, mantep juga nih," ucap pria itu lagi.

Berselang beberapa menit, Andis selesai dengan kegiatan basa-basi itu dan pergi ke luar. Ia seperti menggendong sesuatu. Sesampainya di luar, Andis meletakkan sesuatu itu di tanah.

"Papa." Andis berjongkok dan menatap sosok bocah lelaki yang sedari tadi hinggap di punggung pelanggannya.

"Papa kamu?" tanya Andis sambil menunjuk pria yang berada di dalam.

"Papa." Sejujurnya ucapan anak itu bukan petunjuk. Pria tadi masih tergolong muda dan sepertinya belum berkeluarga, Andis masuk ke dalam dan meninggalkan bocah itu di luar.

"Gimana, Mas kopinya?" tanya Andis.

"Mantap, apa lagi sambil dipijit," ucapnya diiringi tawa kecil.

"Udah berkeluarga, Mas?" tanya Andis iseng.

"Belum, baru rencana mau nikah sih tahun depan."

Ya, dugaan Andis tidak salah. Yang jadi masalah adalah, kenapa bocah itu memanggilnya 'papa'.

"Masih pegel, Mas?" tanya Andis.

"Enggak, padahal cuma pijit ringan gitu ya, tapi langsung ilang pegelnya," jawab pria itu.

Andis mulai bertanya kapan pria itu mengalami pegal di punggungnya. Dan pria itu berkata, ketika ia pergi dengan pacarnya ke pasar malam sekaten di alun-alun utara. Ketika pulang, ia langsung merasakan pegal-pegal yang tak wajar.

Mengingat malam ini adalah malam terakhir pasar malam sekaten digelar, Andis berusaha mencari petunjuk. Ia memanggil Abet yang sedang off untuk menggantikannya sebentar, Andis juga mengajak Sherlin untuk ikut dengannya.

"Nisa, Puspa, aku tinggal dulu ya," ucap Andis yang telah mengenakan jaketnya.

Andis berjongkok sambil membelakangi bocah itu, dan benar saja dugaannya, bocah itu naik ke punggung Andis. Mereka terlihat seperti seorang ayah yang sedang menggendong anaknya.

"Anak itu, siapa sih?" Pertanyaan Sherlin membuat Andis terkejut, ia tak menyangka bahwa Sherlin dapat melihat sosok bocah yang sedang ia gendong.

"Anak ini arwah penasaran, ayo kita buat dia kembali ke asalnya ...," bisik Andis.

Sherlin hanya tersenyum sambil menunjukkan jempolnya, sekarang ia berusaha menjadi Tama. Sejujurnya, Andis tak menyangka bahwa Sherlin tak takut dengan sosok ini, bahkan ketika ia memberitahu bahwa sosok ini adalah arwah gentayangan. Mereka bertiga akhirnya menuju pasar malam sekaten menggunakan motor Andis.

Sesampainya di sekaten, Andis dan Sherlin langsung masuk ke dalam. Banyak sekali jajanan dan wahana permainan yang disajikan di sana.

"Sherlin mau itu."

"Sherlin mau ini."

"Sherlin mau main itu."

"Main yang ini boleh?"

Andis tak tahu, anak ini sangat banyak sekali jajannya. Jujur, ia tak sekaya Tama yang memiliki tabungan berpuluh-puluh juta di rekeningnya. Mengajak Sherlin tak bagus dengan kesehatan dompetnya. Namun, Andis tetap berusaha membuatnya tersenyum mengingat Sherlin sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Tanpa sadar, sosok di punggungnya ikut tersenyum.

Mereka banyak menaiki berbagai wahana, dari kora-kora, rumah hantu, gelombang cinta, dan beberapa wahana lain. Ketika mereka menaiki bianglala, Sherlin dan Andis tampak menikmati pemandangan dari atas, mereka menyaksikan keramaian yang mengisi pasar malam sekaten ini.

"Papa." Bocah itu mulai bersuara.

Perlahan tapi pasti, bocah itu menghilang dari punggung Andis seraya dengan suaranya yang selalu memanggil papanya.

"Dia cuma mau main ya?" tanya Sherlin.

"Makasih ya, udah nemenin hantu kecil tadi," ucap Andis sambil tersenyum.

Yah, mungkin hantu tadi cuma mau ngerasain main di pasar malem ini bareng sama seseorang yang dipanggil 'papa'. Mungkin dia ga punya sosok itu selama ia hidup, dan akhirnya mati membawa rasa penasaran. Pelanggan mantra yang ketempelan hantu bocah ini sepertinya ga banyak bermain, sehingga hantu itu mengikutinya dengan harapan bisa puas bermain bersama sosok 'papa' yang ia temukan.

Andis menatap Sherlin yang matanya tertutup, kemudian terbuka lagi, lalu tertutup dan terbuka lagi. Sepertinya ia mengantuk. Seturunnya mereka dari bianglala, Andis menggendong Sherlin dipunggungnya dan berjalan keluar pasar sekaten.

"Makasih ya, Nak," ucap seorang nenek tua. Nenek itu bukanlah manusia, Andis tahu itu. Namun, ia masih merasa heran, untuk apa ucapan terimakasi itu.

Setelah mengucapkan terimakasih, nenek itu menghilang entah kemana. Ya, mungkin hantu tua itu mengenal hantu bocah yang Andis antarkan ke alam yang seharusnya. Mungkin juga ucapan terimakasih itu bermakna sebagai rasa terimakasih sudah membantu sebangsanya. Yah, siapa yang tahu?

Sherlin duduk di depan, sementara Andis mengendarai motor di belakang Sherlin. Ia hanya mengendarai motor dengan satu tangannya, sementara tangan yang satunya ia gunakan untuk memeluk Sherlin yang tertidur di depannya, agar tidak jatuh. Andis mengendarai motor dengan kecepatan yang sangat pelan, ia menikmati terangnya bulan dan hembusan angin malam sambil tersenyum. Ada kepuasan tersendiri, ketika ia berhasil menolong mereka dan memulangkannya kembali ke alam yang seharusnya.

Tidak ada bayaran berupa materi, tetapi justru bayaran yang hakiki itu adalah senyuman terimakasih yang tulus dari mereka yang telah Andis tolong. Andis memang bukan pria yang kaya secara materi, tetapi secara hati ia adalah pria yang kaya akan kebaikan. Ia memang terlihat sendirian, tetapi nyatanya ia tak pernah kesepian. Karena mereka yang telah pergi, tak sepenuhnya meninggalkan. Senyum mereka tertinggal di dalam pikiran Andis, membuat pria itu semakin ikhlas dalam menolong sesama makhluk.

Mantra Coffee ClassicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang