106 : De Javu

1.3K 264 46
                                    

Cring~ Gemerincing lonceng di pintu pertanda kehadiran pengunjung.

"Selamat datang di Mantra Coffee."

.

.

.

"Sudah Siap Melamar."

Begitulah yang tertulis di selempang wisuda milik Tama. Hari ini adalah hari miliknya, ia keluar ruangan sidang dengan wajah yang berseri-seri, tak seperti dirinya yang kaku dan stay cool, hari ini ia tak bisa membendung senyumannya.

Ketiga temannya yang sudah menunggu di luar ruangan, langsung berlari ke arah Tama, mereka mengangkat Tama dan melemparnya, menghempaskan nya keudara dan menangkapnya kembali.

"Congraaats!" teriak mereka bertiga heboh hingga menjadi pusat perhatian.

Setelah lelah, mereka menurunkan Tama.

"Sayang banget, Aqilla ga ada di sini," ucap Andis.

"Gapapa, masih ada kalian," balas Tama.

"Udah pasti dia ga dateng wisuda lu juga kan?" tanya Dirga.

"Asal dia dateng ke nikahannya sendiri aja--"

"Kan ga mungkin, gua sendirian dipelaminan?" sambung Tama.

"Anjir, sejak kapan lu jadi banyak ngomong gini dah?" tanya Andis.

Tama hanya membalasnya dengan senyum seperlunya. Setelah itu mereka merayakan kelulusan Tama dengan makan-makan. Sebenarnya Dirga dan Ajay juga sudah menyelesaikan skripsinya, tetapi mereka masih harus menunggu jadwal sidang keluar. Mereka semua menuju Paparons Pizza mengendarai mobil Dirga.

"Bener-bener ditinggalin ya, gua?" ucap Andis.

"Buruan makanya!" ledek Dirga sambil mengemudi.

"Udah masuk bab terakhir sih, bismillah."

"Bab terakhir, ya?" ucap Tama lirih.

"Baru kemarin rasanya, buka lembaran baru di Jogja," timpal Andis.

"Lo inget cewek yang lo ramal pake tarot? Pelanggan pertama kita, Dir."

"Oh, Mbak Sekar? Si aceh gayo."

"Namanya bikin kangen," balas Andis sambil menatap atap mobil.

"The lost kuntil children, ye, Dis?" ledek Ajay.

"Lo kalo bisa liat, Sekar, terpincut-pincut lo! Cantik dia."

"Terus yang abang-abang kosannya berhantu, inget ga?" tanya Ajay.

"Oh, yang ujung-ujungnye sama, Dirga disuruh bayar jasa pemburu hantu, terus mukanya cengo?" balas Andis.

Mereka tertawa bersama mengingat semua kenangan-kenganan itu.

"Mila juga, waktu pas ngelamar di mantra coffee. Nanya ke Andis mau ngelamar, eh, Si Andis malah bilang belum siap dilamar, pede gila lo!" ucap Ajay.

"Mila tau, mana yang paling ganteng di antara kita," timpal Dirga.

"Abet noh! Takut gua awal-awal liat tatonye," sambung Andis.

"Emang sekarang berani?" tanya Dirga.

"Enggak," jawab Andis.

Entah sudah berapa banyak detik yang mereka habiskan bersama, semua suka dan duka yang membuat mereka semakin dewasa. Hanya waktu yang mampu merubah Tama menjadi seorang yang mulai membuka diri, mampu menghentikan Dirga merokok dan menggantikannya dengan permen lolipop, mampu membuat Andis ikhlas untuk menolong sesama makhluk, terutama mereka yang tak terlihat, serta membuat Ajay mulai berani untuk membuka topeng tak kasat mata yang selalu ia gunakan untuk bersembunyi.

Mantra Coffee ClassicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang