PILLOW TALK

11.9K 1.3K 17
                                    

Lelah hati dan pikiran itu memang wujud kelelahan yang paling kejam dimuka bumi ini. banyak orang bekerja siang malam, seperti tidak ada istirahatnya, tapi anehnya mereka tetap terlihat segar bugar dan sehat – sehat saja. padahal pekerjaan mereka benar – benar berat secara fisik, dan jam kerja yang sangat panjang. Tapi gak jarang juga, orang – orang yang bekerja dalam posisi lebih nyaman, fasilitas memadai seperti bekerja diruangan ber AC, berangkat dengan mobil mewah yang nyaman, rumah besar dan ranjang yang empuk, eh... mereka malah lebih mudah terkena penyakit yang berbahaya, lalu meninggal di usia yang masih tergolong muda. Bahkan tidak jarang mereka mengalami serangan penyakit yang mendadak, yang berita kematiannya tentu mengejutkan kita semua.

Yah karena stress dan lelah hati itu ternyata lebih menggerogoti kesehatan. Ketimbang lelah secara fisik tapi pikiran tenang dan senang. Walau bukan berarti memforsir fisik juga hal yang baik ya.

Begitu juga dengan apa yang saat ini ku alami. Bahkan kami baru saja akan menginjak bulan kedua pernikahan, tapi rasanya aku sudah lelah luar biasa sekali. Bahkan wajahku jauh dari kata segar penampakannya. Secobaan – cobaannya masa awal pernikahan, Ibu dan Nining ini sungguh melebih kata cobaan. Mungkin mereka ini harus ku sebut sebagai bencana. Mereka ini benar – benar menguji taraf kesabaran dan kewarasan manusia normal. Yang punya obsesi mereka, yang harus menderita semua orang.

Satu kata untuk mereka berdua, egois!!

"masih anget badannya?" tanya mas Aksa sambil menyentuh keningku. Aku bosan dikamar, jadi aku duduk di sofa depan TV sambil merasakan hangatnya matahari pagi dari pintu balkon. Aku menggenggam mug yang berisikan minuman hangat rasa cokelat lengkap dengan butiran serealnya, yang di gadang – gadang mampu mengganjal lapar dikala tidak sempat sarapan. Mas Aksa membawa laptopnya untuk duduk disampingku sambil tatapannya khawatir. Dia sejak tadi bolak – balik memeriksa keadaanku sambil menyambi bekerja. Untunglah dia izin dari kantor, dan hanya mengerjakan pekerjaan memeriksa skripsi dan tugas para mahasiswanya.

"udah gak kayaknya, mataku udah gak perih lagi" sahutku sambil berusaha menerbitkan senyum padanya, aku juga tidak tega melihat tatapan khawatirnya kepadaku terus menerus. Bahkan dia sendiri sudah tampak sangat letih. Mas Aksa menatap ku khawatir, tangannya terus mengusap lembut pipiku. "dithermo lagi aja ya? mastiin aja" pintanya, aku mengangguk saja demi membuatnya merasa tenang. Mas Aksa beranjak dari kursi dan berjalan ke kamar, untuk mengambil alat pengukur suhu tubuh.

Semalam sekitar menjelang tengah malam suhu badanku memang tiba – tiba demam, lalu mas Aksa bergegas mengambil thermometer dan ternyata suhu tubuhku 38.5, dia lalu memberiku penurun panas dan membiarkan ku tertidur. Sekarang mas Aksa sudah kembali dengan thermometer digitalnya lagi, lalu menempelkannya di dahiku, dia memperhatikan dengan serius "37" gumamnya "sudah mulai turun. Kamu yakin gak ada ngerasa yang lain, Ta? Lidah kamu bisa ngecap? Penciuman kamu tetap normal? Leher sakit gak?" mas Aksa benar – benar khawatir, apalagi aku sempat melarikan diri dari rumah kan? walau kalau di ukur – ukur jaraknya sudah lebih dari dua minggu. Tapi yah, who knows kan? aku juga baru kepikiran, apakah mungkin aku terpapar covid? Tapi mas Aksa juga semalam tidur denganku dan sekarang dia dihadapanku tidak menggunakan masker. Aku semakin khawatir kami berdua terpapar.

Ya. demam saat ini memang bisa membuat orang kebakaran jenggot. Kalau dulu kita bisa santai menghadapi orang demam selama tidak sampai menggigil hebat. Kalau sekarang, demam sedikit saja membuat orang langsung paranoid setengah mati "mas mau aku di swab aja biar yakin?" tanyaku. Dia tampak berpikir sejenak "oke, mas ganti baju dulu"

"aku sendiri aja, kalau aku ternyata positif aku bisa langsung segera cari rumah sakit yang bisa nerima aku" sahutku karena aku tidak mau mengambil risiko berdua didalam ruangan kecil, dengan kemungkinan aku positif dan dia sebenarnya negatif lalu jadi tertular. Ini saja aku sudah takut, karena bagaimanapun kami suami istri dan tentunya tidur bersama bahkan beberapa kali berhubungan suami istri. Walau ku baca – baca covid bukanlah penyakit yang menular melalui hubungan sexual, tapi tetap saja, kami tidak menggunakan masker kan? dan pastinya saling mencium.

semua serba kilat (pandemic love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang