I'M THE MAN WHO CAN'T BE MOVED, SAYANG

13.8K 1.4K 38
                                    

18 hari sudah dan belum ada tanda – tanda mas Aksa pulang. Mas Aksa sudah melewati satu kali lagi test swab dan masih positif juga. Rasanya benar – benar membuat frustasi.

Aku semalam ikut menyaksikan acara tahlilan Ibu lewat sambungan skype, mbak Astrid menggelar tahlilan yang hanya berisikan para orang rumah Solo dan keluarga mas Bimo saja. beberapa kakak kandung Ibu juga diundang lewat skype. Kebetulan posisi rumah mbak Astrid dan orang tua mas Bimo memang bertetangga nempel, mereka bahkan membuat pintu penghubung untuk mempermudah kalau saling membutuhkan.

Iya, se akur itu hubungan mbak Astrid dengan mertuanya.

Mbak Astrid menutup rapat pintu rumahnya untuk siapapun selain inner circle nya. Trauma menyelimutinya begitu parah, dia ingin mempertahankan satu – satunya orang tuanya yang tersisa. Dia benar – benar menjaga bapak dengan segala kehati – hatian yang tinggi.

Mas Aksa juga ikut bergabung pada skype itu. Aku melihatnya melepas isak tangis beberapa kali. Sepedih apapun sikap Ibu, dia tetaplah wanita yang berharga dalam hidup mas Aksa dan mbak Astrid.

Kalau dibuat ranking, tentu saja aku akan tetap nomor dua dihati mas Aksa. Dan aku tidak keberatan sama sekali dengan hal itu, karena memang seperti itulah urutannya. Kenapa harus protes, selama perhatiannya tetap terbagi adil?

Aku selalu percaya, laki – laki yang bijak, akan memandang Ibu dan Istrinya dengan cara yang berbeda. Tidak akan membuat kompetisi diantara keduanya, apalagi membandingkan.

Dan istri yang bijak, juga akan memberikan ruang bagi suaminya, untuk terus mencintai Ibunya.

Dan Ibu yang bijak, juga harus paham, bahwa pada akhirnya, istri dari anak laki – laki nya lah, yang akan menemani anak laki – lakinya itu, dalam mengarungi kehidupan. Jadi tidak perlu membuat persaingan tak kasat mata. Yang hanya menjadi api dalam sekam dalam rumah tangga anaknya.

Tapi dalam kasusku. Yah, memang harus begini. Nasi sudah menjadi bubur. Jadi ikhlaskan saja.

Suasana tahlilan semalam benar – benar mengiris hati. Rasanya begitu sendu dan sedih. Tidak bisa mengantar ke pemakaman, sampai saat ini belum bisa berziarah. Aku bahkan tidak bisa membayangkan diriku kalau ada di posisi seperti mas Aksa dan mbak Astrid.

Mas Aksa ikut melantunkan doa – doa dengan membaca surat – surat tahlil lewat aplikasi yang dia unduh di ponselnya. Untunglah dia membawa perlengkapan lengkap ketika pergi menjemput Ibu. Dia membawa serta iPad nya, sehingga dia bisa sekalian skype dan membaca doa lewat aplikasi ponsel.

Selesai tahlilan, kami menyempatkan berbincang dulu ber empat. Bapak tampak masih membesitkan tangis beberapa kali, dan menanyakan banyak hal padaku dan mas Aksa. Kami berusaha membuat bapak tersenyum, walau hasilnya hanya sebuah senyuman super tipis.

Bapak memastikan kalau antara aku dan mas Aksa sudah tidak ada lagi masalah. Bapak juga berpesan, agar apapun situasinya, agar anak – anaknya bisa membina rumah tangga yang akur, rukun, penuh pengertian. Jangan mengedepankan ego masing – masing.

Tidak ada untuk kepentingan kamu atau aku dalam berumah tangga. Semuanya untuk kepentingan bersama. Berhasil satu berhasil semua. Gagal satu gagal semua. Oleh karenanya, bicarakan semuanya bersama – sama. Jangan mengambil tindakan sendiri.

Karena dalam rumah tangga, satu yang berbuat, semua yang bertanggung jawab.

Kurang lebih itu lah inti dari pesan bapak.

Aku hanya bisa menahan sedihku, memandangi 3 wajah manusia yang sangat baik, tapi untuk kali ini terlihat sangat sendu. Mau bagaimana? baru 7 hari berlalu sejak kematian Ibu, bagaimana mungkin bapak sudah bisa tersenyum? Tentu mereka akan sulit sekali benar – benar mencapai titik ikhlas dalam hati terdalam mereka.

semua serba kilat (pandemic love story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang