Kehidupan Daffa Raffan berubah ketika dia terbebas dari penjara. Ia menjadi seorang mahasiswa, seorang pegawai perusahaan mabel dan juga seorang suami dari perempuan yang dia cinta, Alya Sahira. Dia mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah dimiliki...
“Harga yang harus Anda bayar adalah darah Anda sendiri. Dan Anda akan mengutuk diri Anda sendiri nanti”
***
“MasyaAllah, isteriku pasti lembur lagi malam ini,” ujar Daffa sesaat dia memasuki kamar. “Apa ada yang bisa Daffa Raffan lakukan untuk menolong Alya Sahira?”
Alya duduk bersila di atas tempat tidur, jari-jemari mengetik cepat di keyboard sedangkan mata tidak beralih dari layar laptop.
“Nggak ada sayangku. Sebentar lagi juga selesai. Biasa laporan bulanan,” jawab Alya.
Alya tidak menoleh kepada Daffa. Walaupun Daffa sedang berkutat dengan kucing kesayangannya; Atuk yang tidak mau keluar kamar yang pada akhirnya membuat Daffa harus menggendong Atuk dari atas tempat tidur.
“Atuk keluar. Tidur di bawah hari ini, Kak Alya lagi kerja,” suruh Daffa.
Sangat menggemaskan saat Daffa membuka pintu dan meletakkan Atuk dengan susah payah karena tubuh kucing itu yang gemuk.
“Dan jangan mencakar sofa! Nanti Mamah marah.” Daffa menambahi, memberikan nasihat. Atuk mengeong sejenak, mematuhi Daffa lalu menuruni tangga menuju ruang tamu.
“Alhamdulillah Indonesia. Kita ke perempatan final.”
Daffa membahas tentang pertandingan sepakbola. Alya mendengar dari lantai atas bagaimana serunya nonton bareng di ruang keluarga, melibatkan sorak gembira Alif dan makian keras Farhan saat lawan melakukan kecurangan.
“Aku temanin kamu kerja yah.” Daffa naik ke tempat tidur dan membaringkan kepalanya dengan nyaman di paha Alya.
“Kamu tidur duluan nggak papa.” Alya menatap sejenak wajah Daffa yang tepat berada di bawah pandangannya. “Soalnya besok kamu periksa ke rumah sakit Handoko. Sudah nggak makan lagi, kan? Sudah mulai puasa, kan?” Dia melirik jam dinding yang menunjukkan hampir tengah malam.
Daffa mengangguk. “Iya. Tapi aku nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk sama kamu.”