56. Bila Masa

3.6K 738 226
                                    

“Cerita ini fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”

© Story of “Surga di Balik Jeruji 2” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.

“Semua takkan pernah sama lagi. Aku dan kamu takkan pernah ada lagi.”

***

Pembacaan surah yasin terdengar bergema, seirama, dan bersahutan dengan rinai hujan yang turun dari langit, sedang angin dingin masuk tanpa tercela, menusuk seperti jarum di setiap jengkal kulit, bahkan merasuk ke dalam relung hati yang perih karena berduka.

Gemerisik angin yang menyapu serta benturan rintik hujan ke tanah tak mampu meredam isak tangis dan ratapan pilu. Tak bisa mengalahkan suara mereka yang kehilangan. Walaupun berusaha keras mereka menegakkan kepala, mencoba tegar, tapi sedetik kemudian, seakan ada tangan tak terlihat menekan, kepala mereka terdorong, tertunduk kembali, mereka menyerah saat melihat sosok terbaring di tengah ruangan, tertutupi kain di sekujur tubuh.

Pada akhirnya, hanya pada lembaran surah Yasin mereka menyerahkan luka, menampung derai airmata yang jatuh membasahi.

“Nggak mungkin! Sama sekali ini nggak mungkin terjadi,” tampik Edy, dia menggelengkan kepalanya keras.

Edy menyeret kedua kakinya keluar dari lingkaran para pelayat, dengan tertatih mendekati seseorang yang telah tertidur tenang. Tangan Edy gemetar saat membuka penutup kain, memperlihatkan wajah yang tampak damai, tampak bahagia meskipun kepergiannya meninggalkan luka.

“Nak, ayo bangun!” Edy mengguncang tubuhnya perlahan. “Daffa, anakku ayo bangun. Bukannya kamu janji merawat Bapak? Janji bakal menemani Bapak sampai tua? Tapi kenapa Daffa nggak menepati janjinya? Kok sekarang malah Daffa ninggalin Bapak? Kok sekarang malah Bapak yang menguburkan Daffa duluan? Ini nggak benar Nak! Kamu yang seharusnya menguburkan Bapak. Kamu yang seharusnya menangisi kehilangan Bapak, bukan sebaliknya. Allah, bangunkan Daffa, bangunkan anakku sekarang, ya Allah…”

Edy membungkuk dan mencium kening Daffa, memeluk tubuh Daffa erat, enggan melepaskan. Bonte menghampiri dan menegakkan Edy kembali. Dia merangkul pundaknya, “Jangan seperti ini Bang, Daffa sedih ngeliat Abang kayak gini, Abang harus ikhlas. Daffa capek, dia butuh istirahat, kasian Daffa ngurusin kita terus. Jadi kita ikhlas yah Bang, kita jangan menganggu Daffa lagi.”

Sungguh, itu hanya sebatas kalimat penghiburan. Bahkan Bonte masih tidak bisa mengikhlaskan kepergian sahabatnya yang mendadak. Baru beberapa hari yang lalu mereka berkelakar, berbicara tentang masalah sepele seperti harga nasi goreng spesial yang naik dan membuat Daffa protes, tentang mimpi mereka untuk berangkat umroh bareng, tentang kehidupan mereka setelah melewati tahun ini, namun tiba-tiba saja kematian menyela dan menghempaskan semuanya menjadi hampa.

Surga Di Balik Jeruji | SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang