Kehidupan Daffa Raffan berubah ketika dia terbebas dari penjara. Ia menjadi seorang mahasiswa, seorang pegawai perusahaan mabel dan juga seorang suami dari perempuan yang dia cinta, Alya Sahira. Dia mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah dimiliki...
“Aku akan bersaksi pada Allah, berkata bahwa kamu paling pantas bersamaku di surga.”
***
Alya menatap cemas Daffa, wajah lelaki itu pucat pasi sedangkan bibirnya membiru. Sembari mengendalikan setir mobil, Alya mengenggam tangan Daffa dengan tangannya yang lain, serasa menggenggam es, begitu dingin.
“Sayang, kamu nggak papa? Apa sakit?” tanya Alya takut. Daffa terus menarik napas panjang, kesulitan bernapas. “Jangan khawatir, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit.” Dia melirik syal putih yang mengikat pergelangan tangan Daffa, bernoda darah. “Bertahanlah. Kita sebentar lagi sampai.”
Daffa tidak menjawab. Dia memejamkan mata. Hanya balasan dari genggaman Daffa yang bantu menyakinkan Alya bahwa lelaki itu masih bersamanya, masih tersadar dan mendengar perkataannya.
“Kamu berhasil.” Alya berusaha bersikap tegar. Mencoba menjadi ceria, walaupun hatinya terasa perih melihat lelaki yang dia cintai terluka. “Kamu berhasil membujuk Mama untuk pulang. Mama mau pergi dari rumah itu, kan?” tanyanya.
Alya merasa dirinya sangat egois. Dia mendesak Daffa untuk terus menanggapi perkataannya. Walaupun tampak jelas Daffa sangat lelah, tampak jelas dia sangat letih, tidak ingin bicara, hanya membaringkan tubuhnya lebih rendah di kursi untuk beristirahat.
“Benarkan Daffa?” Alya mengulang lagi.
“Iya.”
Daffa menjawab. Dengan suara lemah.
Senyum Alya mengembang, terasa lega saat mendengar lelaki itu menyahuti ataupun menanggapi perkataannya. Alya mengalihkan matanya lagi pada jalan yang mereka lalui, pada jalan tol menuju Jakarta, Alya melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia harus membawa Daffa ke rumah sakit segera.
“Dan kemana Pak Galih membawa Mama?” Alya bertanya lagi. Dia tidak suka sepi. Diamnya Daffa, selalu menjadi rasa takut untuk Alya. “Kemana Mama pergi?”
“Pulang.”
“Kemana?” Alya bertanya lagi.
“Ke rumah Keluarga Handoko.” Daffa masih tidak membuka mata, meskipun bibirnya berucap dengan lamban.
“Dan apa kamu sudah menyakinkan Mama? Menyakinkan Mama untuk menjalani pengobatan? Melakukan operasi cangkok hati?” Alya menoleh sejenak kepada Daffa.
Kali ini tidak ada jawaban, hanya anggukan kepala.
Tidak suka! Alya tidak menyukainya. Alya tidak suka genggaman tangan Daffa yang mengendur, seakan lelaki itu siap untuk melepaskannya.