The Rooftop #1

215 65 1
                                    
























PINTU rooftop terbuka sempurna, menampilkan langit malam dengan cahaya kemerahan terang yang mendominasi. Aku mendongak, mencoba untuk melihat tameng yang katanya, menutupi dan melindungi pulau sialan bernama Sangkara ini. Memang tidak terlihat sih, sejauh mata memandang, aku tidak melihat  sebuah tameng. Transparan ya? Lalu, di mana ujungnya?

Hahh ... di sini begitu dingin. Hawanya begitu menusuk. Tubuh Rhino yang berada di depanku, kupeluk sedikit. Sedikit ya, hanya sedikit. Yah, memasukkan sedikit kedua tanganku di sana, walaupun sama sekali tak kurasakan kehangatan. Lupa jika tubuhnya berbeda.

"Ada apa?"

Aku menggeleng, "Dingin."

"Tubuhku bukan tubuh yang tepat untuk merasakan kehangatan, Sayang," katanya sambil menggenggam tanganku yang berada di dalam pakaiannya. "Peluk teman-teman perempuanmu jika butuh kehangatan."

Aku hanya mendengus, mengabaikan kata-katanya. Kutelaah sekitar, melihat rooftop ini yang terlalu luas. Terlihat jelas dari netraku hamparan ruang terbuka yang lapang, dengan sebuah menara pemancar berwarna hijau menjulang tinggi di tengah-tengah rooftop yang luas ini. Di bawah menara pemancar ada sebuah kotak mesin yang dijaga oleh kelima anjing berkepala dua bernama Canes? Betul, 'kan?

Wah! Aku baru pertama kali melihat wujud anjing berkepala dua yang dibilang gigitan dan liurnya mampu membuat busuk organ manusia. Hih! Mengerikan!

Kulihat kelima anjing itu sudah pasang badan di depan menara pemancar. Gigi yang menggertak, suara menggeram, dua kepala yang menegak, serta tubuh yang sudah berdiri dengan tegap. Sial! Bagaimana bisa melewati mereka ya?

Salah satu anjing menggonggong, (entah hanya satu kepala yang menggonggong atau dua-duanya, aku tak mengerti.) membuatku dan yang lain otomatis mundur ke belakang.

"Kau hanya punya satu pistol?" Leo menghampiri Rhino yang masih berjaga-jaga dengan pistol kecilnya.

"Ini juga hasil curian dari kepala sipir. Tidak terpikirkan untuk membawa senjata lainnya."

"Ada yang tau cara menjinakkan Canes?"

Pertanyaan Leo tak terjawab, aku dan yang lain hanya menggeleng, begitu juga dengan Rhino.

"Harusnya Kak Kira tau, tapi kita tidak bisa mengandalkannya untuk saat ini," tuturnya yang membuatku jadi merasa bersalah. Huh! Seandainya ingatanku tidak hilang, mungkin aku bisa menjadi orang yang paling berguna di sini.

"Satu-satunya cara adalah membunuh kesepuluh anjing itu," pungkas si Gondrong merah-muda yang sedang memeluk kedua adiknya.

Leo berdecak keras menatap Sam, "Sepuluh kau bilang?"

"Aku hitung perkepala."

"Ya... kau tidak salah sih."

"Pistol kita hanya satu, Sam. Pelurunya juga pasti tersisa sedikit karena sudah kugunakan sebelum ke sini." Rhino menunjukkan pistol yang berada di tangannya itu. "Kalau kau ingin jadi umpan, aku tidak keberatan."

"Mayor!"

"Aku bercanda, Jaemmi..."

"Tadi Leo bilang aku pasti tau cara menjinakkannya, 'kan?"

Leo mengangguk, "Iya. Kau yang membuat mereka, Kak. Tidak mungkin kau tidak tau cara menjinakkan mereka."

Aku melangkah cepat ke arah depan, tapi tanganku ditarik keras oleh Rhino yang mendelik ke arahku. "Mau apa?!"

"Mencoba menjinakkan anjing-anjing itu."

"Kau gila?"

"Rhin..." Kutatap manik mata kecoklatan Rhino yang sedang menampilkan sorot takut. Aku menilik wajahnya yang memar dengan bekas darah mengering disudut bibir, sayat-sayatan tipis disekujur tubuhnya membuatku meringis. Luka-luka terlihat masuh baru juga tercetak di wajah tampannya itu.

Sedih rasanya. Melihat kekasihku mengalami hal sulit karenaku. Kesalahan yang aku perbuat, tindakan yang aku lakukan, membuat Rhino––bahkan Leo, Sam, dan yang lainnya terlibat dan membantu hal konyol yang aku perbuatan saat ingatanku masih ada.

Sial, aku jadi merasa sangat bersalah.









"Kira..."

"Aku harus berguna, Rhin. Memang ini semua karenaku, 'kan? Karena aku, kalian menjadi seperti ini."

"Kak Kira..."

"Setidaknya aku harus cari tau sendiri bagaimana cara menjinakkan mereka. Setelah tau dan berhasil, aku akan langsung membuka kelima kuncinya."

"Tapi, Kira––"

"Jika aku tak berhasil pun, kalian harus tetap membuka kuncinya."

"Jangan bicara seperti itu, Sayang!"

"Rhin," Kukecup bibirnya singkat lalu menatapnya, "percaya padaku, ya?"





[✓] SURVIVE OR DIETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang