CINTA H2; 11

4.6K 377 10
                                    

"Jadi menurut bapak--". Hanif memundurkan tubuhnya menjauh ketika dirasakannya tubuh Windi-mahasiswi akhir tahun-mulai terasa dekat dengannya. Kulit tangan mereka hampir saja bersentuhan. Hanif menatap Windi dengan tatapan tak suka.

Windi mengangsurkan tubuhnya menjauh. Sebenarnya, Windi bukanlah Mahasiswi bimbingan Hanif. Kebetulan dosen pembimbing pertama Windi- bu Ratna- sedang dalam masa cuti habis melahirkan, sehingga Hanif harus menjadi dosen pembimbing Windi menggantikan bu Ratna.

"Ya sudah, kamu benarkan lagi perbaikan skripsi kamu. Nanti kalau ada waktu, kita diskusi lagi." Hanif berdiri dari duduknya. Saat ini mereka sedang berada diruangan pustaka jurusan. Hanif berjalan meninggalkan Windi yang tersenyum melihat Hanif kikuk dengan perbuatannya.

"Aku padamu, pak!" Bisik Winda sumringah.

Hanif masuk ke ruangannya dengan terburu-buru. Nafasnya terasa sesak. Irama jantungnya berdetak tak beraturan. Seumur-umur jadi Dosen, baru kali ini Hanif bertemu mahasiswi nekat seperti Windi. Hanif bukan laki-laki bodoh. Sikap Windi yang terang-terangan ingin dekat dengannya membuat Hanif kelabakan. Entah mengapa dirinya tak suka jika harus berdiskusi dengan Windi, berdua saja.

"Kopi, pak?!" Suara Irna mengagetkan Hanif. Secangkir kopi sudah terletak di atas meja kerja Hanif.

"Terima kasih!" Ucap Hanif kaku.

"Kabarnya, pak Hanif sudah pindah, ya?!" Tanya Irna membuat Hanif yang sedang menekuri laptopnya, mengangguk.

"Terima kasih sudah menunjukkan rumah kontrakan itu kepada saya, Bu Irna. Rumahnya bagus. Dan anak saya suka."

"Jangan panggil Bu Irna, pak! Panggil Irna saja! Keliatannya bapak lebih tua dari saya!" Ralat Irna.

Hanif bergeming. Tak disahutinya omongan Irna barusan. Tangannya sudah sibuk menari-nari di atas keyboard laptop.

Seperti memahami arti wajah Hanif. Irna beringsut keluar. Dan menutup pintu ruangan Hanif perlahan.

Hanif menghela nafas lega. Berada diantara perempuan seperti Windi dan Irna membuat Hanif kehabisan nafas. Pasokan oksigennya seperti menghilang begitu saja. Hanif mengambil salah satu buku ketika sebuah amlop terjatuh dari mejanya. Hanif membungkuk sedikit untuk mengambil amplop itu.

Seperti surat-surat yang lain, amplop itu tak memiliki nama pengirimnya. Hanif membaca isinya malas. Masih seperti surat yang lain. Isinya masih tentang perasaan.

Hanif mendesah. Siapa yang menulis surat ini untuknya?!!

♡♡♡♡♡

Disebut taman bermain, rasanya tidak tepat. Karena yang disebut taman oleh warga setempat ini tak lebih hanyalah lahan kosong yang merupakan milik salah satu warga di daerah ini. Menurut cerita, dulu akan di bangun kontrakan di atas lahan kosong ini. Tapi, karena sesuatu dan lain hal, lahan kosong ini jadi terbengkalai. Jadilah, salah seorang warga meminta izin kepada pemilik untuk menggunakan lahan ini untuk kepentingan bersama. Sebagai gantinya, setiap warga berkewajiban bergotong royong untuk membersihkan lahan ini.

Lahan kosong ini banyak digunakan untuk perayaan seperti lomba tujuh belas agustus, pertandingan bola voli dan sepak bola. Atau kalau sedang tidak ada kegiatan, maka akan dipenuhi oleh anak-anak sebagai tempat untuk bermain.

Nadia menyibak rambut panjangnya yang tertiup angin. Separuhnya hampir menutupi wajahnya, membuat Nadia tampak mengerikan.

"Kak!! Ada kuntil anak!!" Teriak anak perempuan berusia lima tahun berlari terbirit-birit ke arah kakaknya yang sedang asyik menulis di atas tanah dengan menggunakan ranting pohon.

"Mana?!" Si Kakak ikut mengedarkan pandangan. Matanya menatap kuntilanak yang dimaksud adiknya. Matanya menyipit memperhatikan. "Bukan, ah! Itu orang tau!!"

Cinta H2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang