CINTA H2 ; 14

4.2K 347 7
                                    

Agung bersimpuh di depan Ayana. Gadis kecil berusia tujuh tahun itu menatap Ayahnya dengan tatapan kesal.

"Hei! Jangan gitu dong wajahnya. Tuhh, kan, jadi jelek anak cantik Ayah!" Rayu Agung, tapi tak mempan saat ini kepada Ayana. Agung menghela nafas dalam. Di belakangnya Sari hanya diam membisu. Serba salah dengan keadaan ini.

"Ayaa..." panggil Agung lembut.

"Ayah kenapa peluk-peluk tante itu?! Biasanya Ayah cuma peluk mama?!" Tanya Aya dengan intonasi suara tinggi. Matanya menatap Sari tajam.

"Dia bukan tante kamu, nak! Dia-mama kamu juga. Sama seperti Mama Hana!"

Dari sekedar lirikan, mata Ayana menatap Sari dalam. Terlihat sekali raut tak senang di wajahnya. "Kenapa Aya harus panggil tante itu mama, kalau Aya masih punya Mama?!" Tanya Ayana lagi.

"Aya, seperti apapun Ayah menjelaskan, Aya belum bisa mengerti, nak! Cukup dengarkan Ayah saja, oke?!"

"Kalau Aya gak mau?"

"Kenapa Aya gak mau?!"

"Karena Aya gak suka punya mama tiri! Aya gak suka Ayah sama Mama pisah! Aya benci!! Aya benci karena Ayah gak akan ada untuk Aya lagi!!" Teriak Aya, dengan air mata berlinang.

"Siapa bilang?!"

Diam. "Mama yang bilang?!". Ayana menggeleng.

"Aya punya teman. Teman Aya punya Ibu tiri, padahal mamanya masih hidup. Tapi Ibu tirinya jahat!! Suka marahin teman Aya! Aya--aya--" Ayana sudah menangis sesenggukan. Agung meraih Ayana ke dalam pelukannya. Tangannya mengelus rambut hitam Ayana.

"Itu teman kamu! Bukan kamu, nak! Ayah gak akan maksa Aya kalau gak mau. Tapi Ayah sudah gak bisa tinggal sama mama lagi!" Terang Agung.

Ayana melepaskan dirinya dari pelukan Agung. Matanya semakin merah dan sembab. Tanpa mengatakan apapun, Ayana berlari meninggalkan Ayahnya. Agung hendak mengejar, tapi tangannya buru-buru dipegang Sari.

"Biarkan saja dulu! Seperti kita, anak-anak juga butuh waktu!"

Agung tak menyahut. Hanya menghela nafas pelan dan menghempaskan tubuhnya ke atas sofa.

Agung menatap langit-langit kamar. Semoga kelak, Ayana bisa memahami keputusan orang tuanya.

♡♡♡♡♡

"Pak!! Tungguu!!"

Derap langkah sepatu yang mencoba berlari kencang mengejar langkah kaki yang lebar, terbirit-birit diantara mahasiswa yang lalu lalang tak menghentikan langkah Hanif. Dengan santai Hanif tetap melangkah menyusuri koridor.

"Pak!!" Baju kemeja Hanif ditarik seseorang. Hanif kaget dan sontak menoleh.

"Windi?!" Sapa Hanif kaget. Windi-mahasiswa akhir fakultas keguruan ngos-ngosan berdiri di depan Hanif.

"Jalannya kenceng banget sih, pak! Saya sampai harus melepas sepatu saya!" Hanif melirik ke bawah sekilas. Benar. Kaki Windi sudah tak mengenakan sepatu lagi.

"Ada apa?!" Tanya Hanif bingung. "Seingat saya, ini bukan jadwal kita diskusi!"

Windi bergeming. Lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam mapnya.

"Saya mau kasih undangan ini ke bapak!"

"Undangan?!"

"Minggu depan kakak saya nikah. Jadi saya ngundang bapak untuk datang ke acara nikahan kakak saya!" Terang Windi menunggu jawaban Hanif.

Hanif membaca undangan itu. Lalu memasukkannya ke dalam salah satu bukunya.

"Terima kasih! Saya permisi dulu!"

Cinta H2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang