"Apa bu Irna pernah jatuh cinta?"
Begitulah. Sehabis mengantarkan segelas kopi hitam yang masih mengepulkan asapnya, Hanif memberanikan diri untuk mengajak Irna berbicara. Irna yang tengah memandangi lantai keramik, sontak mengangkat kepalanya. Bola matanya langsung tertuju kepada Hanif. Membuat mereka berpandangan sesaat.
"Jatuh cinta?" Irna melempar pandangannya ke arah lain. Lalu mengangguk.
"Ohya?" Hanif membentuk senyum tipis. "Pasti menyenangkan bisa jatuh cinta pada orang yang memang kita sukai."
"Kalau pak Hanif, apa pernah jatuh cinta juga?" Balik Irna bertanya.
"Saya?" Hanif mendesah. "Pernah, dulu sekali. Saat saya masih kuliah"
"Kuliah?"
"Ya, saat itu, saya merasakan dia adalah perempuan yang paling cantik se kampus. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang lebih cantik dari dia" kenang Hanif. Mengingat kembali kisahnya sewaktu bersama Hana dulu. Irna tersenyum tipis. Mencoba mengusir perasaan tak enak di dalam hatinya.
"Tapi sayang. Karena kebodohan saya, dia malah pergi dari hidup saya."
"Kenapa? Apa dia menyukai laki-laki lain?"
"Soal perasaannya, saya cukup tahu kalau dia juga punya rasa yang sama kepada saya. Jadi, mustahil kalau dia suka kepada laki-laki selain saya. Saya yang melarikan diri dari dia. Karena saya takut, semakin saya mencoba untuk mendekatinya, saya justru akan lebih menyakitinya."
Irna mengangguk pelan. "Dan bapak bahagia, setelah meninggalkannya?" Tanya Irna lagi.
Hanif menggeleng. "Waktu itu, saya tidak tahu apa itu defenisi bahagia. Bagi saya, bisa bertahan hidup tanpa menyusahkan orang lain. Itu sudah lebih dari cukup!" Hanif menyesap kopinya yang mulai dingin. Irna masih tetap di posisnya. Saat ini mereka memang sedang berada di ruangan Hanif. Namun, pintu sengaja di buka sedikit, agar tidak menimbulkan prasangka yang tidak-tidak dari siapapun yang melintasi ruangannya. Selain itu, gorden jendela juga terbuka lebar, sehingga masih bisa melihat situasi di luar. Bahkan sekali-kali, beberapa mahasiswa tampak melirik ke dalam ruangan Hanif. Beberapa dari mereka tahu, kalau Irna adalah office girl di kampus ini. Jadi kecil kemungkinan untuk mereka berpikiran yang tidak-tidak.
"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?" Tanya Irna sejurus kemudian. "Apa bapak menikahinya?"
Hanif menggeleng. "Saya menikah dengan perempuan lain. Mamanya Nadia-putri saya. Dan, sehabis melahirkan Nadia, istri saya meninggal..." desah Hanif.
"Setelah sekian lama istri bapak meninggal, kenapa bapak tidak menikah lagi?" Tanya Irna lagi. Lalu buru-buru menggeleng. "Kalau rasanya itu privasi, bapak boleh kok tidak menjawabnya."
"Mmm, mungkin karena belum ketemu yang cocok kali!" Jawab Hanif datar. Lalu tersenyum. "Tapi itu dulu sih. Kalau sekarang...sepertinya saya sudah menemukan orang yang, i want to spend my life with her..." jawab Hanif lugas.
"O-oh, bapak pasti senang ya?" Tanya Irna sumbang.
"Begitulah! Setelah sekian lama, akhirnya saya masih diberi kesempatan untuk melihatnya lagi. Bu Irna tahu gak, seperti apa rasanya?" Irna tak menyahut. Hanya wajahnya saja yang memperlihatkan raut tak senang mendengar perkataan Hanif. "Saya seperti menemukan permata yang telah lama hilang, yang saya biarkan begitu saja. Lalu tiba-tiba saya menemukannya lagi, tanpa pernah saya sangka!" Ada rasa haru yang tiba-tiba menyeruak kepermukaan. Hanif tidak bohong. Saat pertama kali dia melihat Hana dirumahnya sendiri, entah bahagia seperti apa yang dirasakan oleh Hanif kala itu. Berpuluh tahun dia mencoba hidup demi orang lain. Membunuh setiap perasaan yang telah tumbuh di hatinya. Dan tiba-tiba harus padam hanya karena satu kesalahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta H2 ✔
RomanceHana dan Hanif bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun situasi mereka tak sama lagi. Keduanya sama-sama telah terikat pernikahan dan memiliki anak. Tapi cinta tak pernah kenal waktu. Cinta mampu menembus hati yang batu sekalipun. Cinta mampu men...