Selepas memutuskan panggilan, Hana bergegas pulang kembali ke rumahnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh Nadia yang saat sekarang sudah pulang dari sekolah namun tidak tahu dijemput siapa. Sepanjang perjalanan, Hana hanya bisa menebak Irna yang sudah menjemput Nadia dari sekolahnya. Bukan tanpa alasan Hana berpikiran seperti itu. Kalau bukan Irna, siapa lagi? Bukankah Irna yang kemarin-kemarin dengan sangat berani telah mengancamnya melalui pesan singkat? Jadi jangan salahkan jika pikirannya langsung tertuju kepada Irna, meskipun Hana enggan.
Hana melewati pekarangan rumah Hanif. Rumah itu terlihat lengang. Seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda seseorang telah pulang. Bahkan, jika sudah ada yang pulangpun, rumah itu masih saja terkesan lengang. Mendadak Hana merasakan betapa nelangsanya menjadi seorang Hanif. Hidup hanya berdua dengan anak perempuannya. Tanpa ada yang mengurus segala keperluan mereka. Tapi, dari cerita Nadia, Hanif sangat telaten mengurus Nadia dan dirinya.
"Papa itu adalah papa terbaik di dunia, tan! Papa selalu mengurus Nadia dengan sangat baik. Tidak pernah marah, dan selalu menyayangi Nadia!"
Ya, dari gelagat Hanif saja, Hana sudah tahu kalau laki-laki itu memang Ayah yang baik. Bahkan sebelum mereka menikah dan hilang kontak. Sejak masih mahasiswa pun, Hanif adalah laki-laki yang baik. Tidak pernah kasar kepada wanita. Mungkin itulah sebabnya, banyak mahasiswi lain-bahkan di luar jurusan mereka-yang menyukainya. Tapi dasar Hanif, dia tak pernah menanggapinya. Dia selalu santai menghadapi 'serangan perasaan' seperti itu.
Hana tersandung batu di depannya, membuat lamunannya tentang Hanif bubar. Dengan mempercepat langkah, Hana berjalan menuju rumahnya.
"Mana Nadia?!" Hana langsung diburu pertanyaan oleh Rina di depan pintu.
"Dia sudah pulang, kata gurunya di jemput perempuan!" Hana menghempaskan pantatnya ke sofa. "Masalahnya, kakak gak tahu siapa perempuan itu!" Hana mengeluarkan lagi handphone dari saku gamisnya. Tidak ada tanda-tanda Hanif akan menelpon.
"Apa jangan-jangan Irna?!" Duga Rina, membuat Hana menyetujui perkataan Rina. Tuh kan, Rina saja bisa berasumsi begitu. Tapi kenapa Hanif tidak?!.
"Kakak juga bilang gitu sama Hanif. Tapi dia bilang kakak gak boleh berburuk sangka."
Rina duduk di sampaing Hana. "Tumben nelpon pak dosen?! Biasanya ogah?!" Colek Rina, tersenyum jahil.
"Trus, kakak mau nelpon siapa kalau bukan dia?! Yang papanya Nadia, kan dia! Emang ada yang lain?!" Jawab Hana sewot. Bisa-bisanya Rina menggodanya disaat seperti ini.
Tak berapa lama, layar handphone milik Hana menyala. Nama Yuli tertera di layar. Hana mengusap tombol berwarna hijau itu.
"Assalamualaikum, Yul!" Sapa Hana begitu ponsel tertempel di telinga kanannya.
"Waalaikumsalam...pa kabar, Na?! Eh, main dong ke sini! Ke tempat Rina! Rina baru nemu resep baru nih. Kayaknya enak banget. Tiba-tiba kepikiran kamu, makanya aku nelpon kamu langsung!"
"Gak bisa yul! Sebenarnya, aku mau cerita sama kamu nih yul!" Hana menjeda sesaat.
"Cerita apaan?! Rahasia gak?!" Bisik Yuli. Membuat Hana mengulas senyum.
"Yul, kamu tahu gak sih, anak perempuan Hanif yang namanya Nadia itu?!"
"Tahu. Nih sekarang--"
"Aku gak yakin kalau ini benar apa salah. Baru saja aku dari sekolahnya Nadia, mau jemput dia ceritanya, gak tahunya Nadia udah gak ada. Kata gurunya, Nadia dijemput sama perempuan." Hana menghembus nafas panjang. "Trus aku telpon Hanif, buat nanyain kalau Nadia ada sama dia gak sekarang?. Eh, Hanif bilang, nggak. Ya...aku bingung dong! Jadi yang jemput Nadia tadi siapa?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta H2 ✔
RomanceHana dan Hanif bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun situasi mereka tak sama lagi. Keduanya sama-sama telah terikat pernikahan dan memiliki anak. Tapi cinta tak pernah kenal waktu. Cinta mampu menembus hati yang batu sekalipun. Cinta mampu men...