CINTA H2 ;17

3.9K 305 4
                                    

Mereka duduk dalam mode diam-berhadap-hadapan. Tak saling pandang, namun sekali-kali melirik. Setelah belasan tahun berlalu, baru kali inilah mereka bertemu lagi-hanya karena Nadia.

Detak jarum jam menjadi saksi bisu mereka. Jangan harap sikap mereka akan sama seperti masa-masa kuliah dulu. Semuanya sudah lewat dan tidak akan pernah sama lagi. Tak ada gurauan yang biasa saling mereka lemparkan. Atau adegan marahan yang pada akhirnya kembali membaik. Semuanya sudah pupus, seiring berjalannya waktu.

Kini mereka tak muda lagi. Mereka sudah berstatus, walaupun status yang mereka sandang bukanlah status yang mereka inginkan.

Rina datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan sepiring kecil camilan yang masih panas. Sekilas Rina seperti terpaku melihat laki-laki yang duduk berseberangan dengan Hana. Inilah laki-laki yang dia sebut mirip salah satu personel EXO-Do kyung su. Laki-laki itu menekuri lantai di bawahnya, seakan tak ada orang di depannya.

"Silahkan diminum!" Rina memecah kebisuan dan kekakuan. Laki-laki itu tersentak, lalu buru-buru tersenyum tipis dan mengangguk kepada Rina.

"Nadia mau, pa!" Bisik Nadia, namun cukup terdengar di telinga Hana.

"Nadia mau?!" Tanya Hana lembut sembari menatap Nadia. Nadia mengangguk mantap. Rina meraih tangan Nadia dan mengajaknya ke dapur. Meninggalkan Hana dan Hanif yang masih saja tak bersuara.

"Apa kabar, Na?!" Tanya Hanif lancar, namun kaku.

"Alhamdulillah baik. Kamu?!" Hana melempar pertanyaan.

"Alhamdulillah baik juga!" Balasnya menatap Hana. Lalu segera membuang pandang.

"Jadi Nadia anakmu?!" Tanya Hana setelah sekian menit tak ada topik diantara mereka.

"Iya."

Hana mengangguk.

"Kamu?!"

"Ya?!"

"Sudah berapa orang anakmu, Na?!"

"Tiga!"

Gantian, Hanif yang mengangguk. "Dimana mereka?!" Hanif mengedarkan pandangan. Tak ada tanda-tanda kalau ketiga anak Hana berada di rumah ini.

"Mereka di rumah Ayahnya!" Jawab Hana, menjawab rasa penasaran Hanif. "Maksudku, mereka dibawa Ayahnya!" Ralat Hana, mencoba tak membeberkan kalau dirinya sekarang adalah janda. Dirinya tak ingin menarik rasa penasaran Hanif lebih dalam. Cukuplah Hanif tahu kalau dia sudah menikah dan punya anak. Itu saja. Hana bukan tipikal perempuan yang senang membeberkan derita hidupnya. Selagi bisa ia simpan, maka akan ia simpan. Percuma memberitahu deritanya, jika itu hanya akan menambah masalah. Hanya Bundalah orang yang paling dia percaya sebagai tempat berkeluh kesah.

"Pantasan sepi!"

"Iya!"

Nadia berlari dari dapur, membawa seplastik camilan yang dia minta tadi.

"Papaaa!!" Panggilnya riang. Lalu duduk manja di samping Hanif. Hana menatap pemandangan di depannya hangat. Ternyata, mereka benar-benar sudah tua. Entah bagaimana waktu berputar, tahu-tahu mereka sudah menjadi orang tua dari seorang anak saja.

"Sudah bilang terima kasih belum?!" Peringat Hanif sambil membenarkan letak rambut Nadia yang berserakan di dahinya.

"Ohiya, lupa! Makasih ya tante Hana untuk kuenya! Kapan- kapan Nadia boleh minta lagi kan?!" Tanya polos. Dan itu mengundang sentakan dari Hanif.

"Boleh, nanti kalau kamu mau, bisa tante buatkan." Senyum Hana. Hanif mendongak dan menatap Hana. Ternyata, Hana sudah bertransformasi menjadi sosok perempuan yang penyayang.

"Makasih tantee!!" Seru Nadia bahagia.

♡♡♡♡♡

Kalau ada yang membuat Hana syok, itu adalah karena pertemuannya dengan Hanif hari ini. Hana tidak pernah menyangka akan bertemu teman lamanya di sini-di rumah Bundanya. Hana merasakan tubuhnya tak memijak bumi ketika melihat Hanif sudah berdiri di depan pintunya dengan raut yang sama- sama terkejut.

"Jadi papanya Nadia itu, temannya kak Hana?!" Tahu-tahu Rina sudah berdiri di sebelah Hana yang tengah mencuci piring.

"Iya. Teman kuliah!"

"Ganteng ya, kak!" Ujar Rina.

"Hmm"

"Mirip artis korea!"

"Hmm"

"Pasti waktu kuliah dulu banyak yang suka ya, kak?!" Tebak Rina sambil mengambil piring yang habis di cuci Hana.

Hana bergeming. "Pasti mamanya Nadia beruntung dapetin papanya Nadia!" Cerocos Rina lagi.

"Bisa jadi!"

"Tapi--" Rina menatap Hana sesaat. Lalu dia teringat saat akan mengantarkan minuman untuk mereka, betapa dalamnya tatapan Hanif saat melihat Hana yang sedang tertunduk. Tatapan itu bukanlah tatapan biasa. Setahu Rina, ketika teman lama bertemu, biasanya mereka saling kaget, lalu mulai bercerita mengenang memori mereka, dan kembali menjadi akrab sekali. Tapi Hana dan Hanif terlihat kaku sekali. Mereka seperti orang asing yang dipaksa bertemu. Gelisah.

Hana melirik Rina. "Tapi apa?!" Hana sudah selesai mencuci piring. Rina menggeleng.

"Tapi apa kak?!" Tanya Rina sok bingung.

"Idiihh, kamu!!" Hana mencubit pinggang Rina gemas, lalu berlalu meninggalkan Rina.

♡♡♡♡♡

"Enak, pa!" Suara Nadia menyentakkan Hanif yang sedang termenung.

"Hah?! Enak ya?!" Tanyanya tersenyum. Nadia mengangguk kuat.

"Tante Hana memang pintar masak ya, pa! Waktu soto itu juga enak!" Puji Nadia. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Membuat kedua pipinya menggembung.

Hanif membalas ucapan Nadia dengan senyuman. Hanif memang tidak pernah tahu kalau Hana pintar memasak. Karena dari dulu hubungan yang mereka punya adalah hubungan yang membingungkan. Jadi tidak ada alasan jika Hanif terlalu ingin tahu hal-hal lain tentang Hana.

"Papa mau?!" Tawar Nadia. Hanif mengambil satu. Lalu mengunyahnya. Anak kecil memang tidak pernah bohong. Yang dikatakan Nadia memang benar. Makanan ini enak.

"Coba kalau Nadia punya Mama! Pasti Nadia bakal dibikinin makanan seperti ini juga.!" Cerocos Nadia. Hanif menatap Nadia sekilas. Mengusap-usap kepalanya. "Pa,,Cerita dong, pa..gimana papa ketemu mama!"

Hanif tersedak makanannya sendiri. Apa yang harus dia ceritakan kepada Nadia tentang pertemuan pertamanya dengan Ratih?! Jelas-jelas pertemuan pertama mereka adalah pertemuan yang tak mengenakan. Tak ada yang spesial diantara mereka. Bahkan ketika menikah, mereka tak sempat mengenal satu sama lain. Semuanya serba instan.

"Pa!" Rengek Nadia.

"Kapan-kapan aja yah! Papa mau mandi dulu! Habis itu kita cari makanan yah?!" Bujuk Hanif sambil berlalu pergi. Nadia cemberut. Lalu menghabiskan semua makanan itu.

Tanpa sepengetahuan Nadia, ada mata yang tengah memperhatikannya. Mata itu adalah milik Hanif. "Maafin papa, ya, nak!" Gumam Hanif sedih.

Entah kapan dia akan mengatakan tentang masa lalunya kepada Nadia. Sementara dia ingin lepas dari masa lalu itu. Bertahun-tahun dia mencoba menerima dan memahami semua ini, menerima segala hal yang jelas-jelas bukan kesalahannya, hingga ia harus diusir dari rumahnya sendiri.

Hanif melangkah gontai menuju kamar mandi.

♡♡♡♡♡

Cinta H2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang