Benarlah kata orang, tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Namun, cinta seperti apa dulu yang patut kita pertahankan dalam mengarungi biduk rumah tangga? Apa kita yakin, bahwa cinta yang hanya dibalut nafsu semata, adalah cinta yang pantas dipertahankan? Lalu, dimana kita letakkan cinta kepada Allah, jika cinta kepada manusia terlalu mendominasi??.
______________________________
Hana bangkit dari sajadahnya. Jam digital di samping tempat tidurnya menunjukan pukul dua dini hari. Usai melaksanakan sholat malam, Hana berjalan ke luar dari kamarnya. Niat hati ingin melihat anak-anak di kamar mereka. Namun, suara berat seseorang yang tengah berbaring, mengagetkan Hana.
"Mau kemana, Hon?" Entah sejak kapan panggilan Hon menjadi terdengar biasa di telinga Hana?. Dulu, saat pertama kali suaminya memanggil dengan panggilan itu, Hana merasa geli sendiri. Seluruh tubuhnya merinding. Seperti orang yang mengalami Urtikaria di sekujur tubuhnya.
"Mau lihat anak-anak." Beritahu Hana sambil menggulung rambut panjangnya.
Tubuh itu bangkit. Matanya setengah terbuka. Dia tertawa. "Sudah setahun kita menikah, kebiasaanmu gak berubah juga, ya?"
"Mau bagaimana lagi, ada yang kurang kalau gak lihat mereka dulu." Hana bergerak untuk membuka gagang pintu, saat tangan suaminya memeluknya dari belakang, dan mendaratkan ciuman di pipinya.
"Makasih, ya, Na. Udah ada buat aku dan Nadia." Hana mengangguk. Menepuk punggung tangan suaminya.
"Aku juga, sekalipun ini terdengar klise, tapi aku bersyukur, kamu juga selalu ada untukku dan anak-anak." Mereka saling tersenyum. "Sudah terlanjur bangun, lebih baik sholat." Suruh Hana yang diangguki, Hanif.
♡♡♡♡♡
Selain bunyi centong dan penggorengan yang selalu beradu di pagi hari, maka suara empat orang anak perempuan tak kalah hebohnya memenuhi area dapur. Selalu saja ada yang menjadi perdebatan dan bahan ribut mereka. Seperti; pensil yang salah ambil, kaus kaki yang tertukar, atau rambut mereka yang belum diikat. Entahlah, rasanya Hana harus belajar meluaskan sabar jika ingin paginya selalu indah.
"Nadia! Aduuuh, bisa diam gak sih?" Hanif yang duduk tak jauh dari meja makan sambil memeriksa tugas akhir mahasiswanya, mendadak pening dengan ulah anak sulungnya itu. " Kamu gak lihat apa, papa lagi sibuk?"
Nadia cemberut. Lalu memandang Hana meminta pertolongan. "Gak usah pandang- pandang Bunda kamu. Papa lihat, yaa" peringat Hanif, masih terpaku dengan laptop di depannya.
Nadia berlari menghampiri Hana. Semenjak memiliki Bunda, Nadia memang terlihat lebih manja.
"Pa, Besok ada pertemuan orang tua, Papa datang ya?" Suara Ayana melerai perdebatan Nadia dan Hanif. Kepala Hanif serta merta terangkat. Lalu melihat ke arah Hana.
"Besok? Umm, jam berapa, nak?"
"Jam sembilan, pa! Tapi kalau papa gak bisa--"
"BISA!! papa bisa kok. Tunggu di sekolah, ya?" Potong Hanif, membuat wajah Ayana berseri. Hanif menghela napas lega. Besok dia ada seminar di jam sembilan itu. Tapi menolak keinginan Ayana, tidak tega rasanya. Dan itu sama saja membuat jarak Hanif dan Ayana kian jauh. Ini pertama kali Ayana mau melibatkan Hanif dalam urusan sekolahnya. Dulu, di awal pernikahannya, Ayana terlihat sungkan sekali. Dia seperti menjaga jarak dengan Hanif. Bahkan, dia lebih sering menginap di rumah nenek dan Agung, untuk menghindar.
Akhirnya, keributan pagi itu terhenti dengan datangnya mobil jemputan dari sekolah. Ya, setelah berdiskusi panjang, Hana dan Hanif sepakat menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang sama.
Hana meletakkan secangkir kopi hitam yang masih sangat panas di atas meja. Tepat di hadapan Hanif. Suaminya itu masih sibuk memandangi layar laptop di depannya. Bahkan dia lupa mengucapkan terima kasih saat kopi untuknya sudah tersedia di atas meja.
Hana menghela napas pelan.
"Kalau rasanya kamu gak bisa datang besok ke sekolah Aya, gak pa-pa kok, yang."
"Bisa kok." Jawab Hanif tanpa melihat Hana.
"Kan besok kamu sibuk,"
"Siapa bilang?" Hanif melirik Hana sekilas, sambil tersenyum tipis.
"Di buku agendamu."
Hanif tertawa. Digesernya laptop yang sedari tadi ada di hadapannya menjauh. Lalu beralih menghadap istrinya.
"Na, kamu tahu kan, ini pertama kali Aya berani meminta sesuatu kepadaku sebagai Papa? Lantas, setelah aku diberi kesempatan itu, apa aku harus mengabaikannya? Kamu udah banyak berkorban untuk Nadia dan Aku. Dan sekarang, kenapa aku tidak berbuat seperti yang kamu lakukan? Kamu, menganggap Nadia seperti anakmu sendiri. Lalu kenapa aku nggak?. Kita menikah, bukan untuk diri kita sendiri. Kita menikah juga untuk melengkapi kekurangan mereka, kan?"
Hana terdiam. Menggigit bibirnya pelan. Entah mengapa hatinya terasa hangat.
"Kamu, Aya, Ayu dan Aisyah jangan pernah sungkan kepadaku. Bagiku, kalian adalah anugerah yang tidak akan pernah bisa aku ganti dengan apapun. Kalian berlima itu nyawaku. Maka sebagai seorang suami, sudah sepantasnya aku melindungi kalian semua." Tatap Hanif penuh cinta kepada Hana.
"Makasih ya, Nif." Hana meraih tangan Hanif dan menggenggamnya. Dan Hanif balik balas menggenggam.
Mereka berdua sadar, bahwa pernikahan yang baru seumur jagung ini, tidak selamanya akan berjalan mulus. Akan selalu ada onak duri yang menghadang di depan. Baik itu dari diri mereka sendiri, maupun dari pihak luar. Tapi, selagi mereka saling berpegangan tangan untuk saling percaya, memahami, maka tidak ada yang tidak mungkin.
Hanif sadar, membesarkan empat anak yang bukan darah dagingnya, tidak segampang yang ada di pikirannya. Hanif benar-benar butuh pendekatan ekstra untuk bisa membaur dan dianggap sebagai seorang Ayah yang hadir secara fisik dan mental untuk mereka. Bukan hanya sekedar di atas kertas atau mulut saja. Dan Hanif yakin, bersama Hana, dia akan mampu melewati itu semua.
Mereka masih akan tetap saling menggenggam, jika ponsel Hanif tidak berdering mengagetkan keduanya.
"Ya, Assalamualaikum..." Hanif memberi salam. Matanya masih enggan lepas dari istrinya. Sesekali mereka saling melempar senyum.
"Waalaikumsalam, pak, hari ini saya jadi bimbingan, kan sama bapak di kampus?"
"Oh, jadi, jadi. Jam sebelas kan?" Tanya Hanif seraya melirik arlojinya.
"Iya pak. Saya sudah di kampus, pak."
"Oke, saya segera ke kampus sekarang." Hanif mengemas peralatannya. Setelah mengucap salam, Hanif menyeruput kopi dengan tergesa-gesa. "Aku berangkat dulu, ya.." Hanif bangkit dari duduk.
"Hati-hati." Ucap Hana, ikut berjalan ke depan mengantar suaminya hingga ke pintu. Baru beberapa langkah, Hanif berbalik lagi.
"Ada yang lupa." Ucap Hanif. Dengan smirk-nya.
"Apa?" Tanya Hana.
"Ini." Cup!. Sebuah kecupan mendarat mulus di bibir Hana, tanpa mampu terelakkan. Hana mematung di tempatnya. Sementara Hanif tertawa penuh kemenangan.
"Daahh, assalamualaikum..." Hanif melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobilnya.
♡♡♡♡♡
Oke, done ya....
Maaf kalau cuma sedikit.
Komen dan pencet love kalau suka.
Jazakumullah khairan.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta H2 ✔
RomanceHana dan Hanif bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun situasi mereka tak sama lagi. Keduanya sama-sama telah terikat pernikahan dan memiliki anak. Tapi cinta tak pernah kenal waktu. Cinta mampu menembus hati yang batu sekalipun. Cinta mampu men...