CINTA H2 ; 44

2.9K 246 4
                                    

"Gak bisa dilacak, Nif! Itu nomor kagak didaftarin!" Seru Ardi, ketika lain waktu mereka bertemu lagi. "Kayaknya itu nomor dipakai buat sementara aja, habis itu dibuang!"

Hanif tampak berpikir.

"Tega juga tuh, orang main teror-teror segala! Gak habis pikir juga gue" Ardi melirik Hanif. "Hidup lo horor banget ya, nif! Dulu aja lu disuruh nikah sama perempuan yang nggak lu kenal. Sekarang, giliran lu mau deketin Hana, ada aja yang main teror!" Ardi mendesah.

Hanif menyesap kopi hitamnya. Siang ini dia dan Ardi memang sengaja bertemu di salah satu coffe shop, tak jauh dari kantor cabang tempat Ardi tugas. Ardi berprofesi sebagai polisi, karena dari dulu cita-citanya memang ingin jadi polisi. Bisa sampai kuliah dan lulus dari sarjana pendidikan itu tak lepas dari keinginan orang tua Ardi sendiri, yang ingin anaknya menjadi pendidik seperti kedua orang tuanya.

"Oke, makasih ya, udah mau bantuin gue!" Ucap Hanif setelah sekian menit berlalu dalam hening. "Sori udah ganggu jadwal tugas lo!" Hanif bangkit dari duduknya.

"Ckk, kayak lu orang lain aja! Kalau ada yang bisa gue bantu, lo bilang aja. Kalau urusannya makin runyam, baiknya lu lapor aja ke kepolisian. Jujur, kayaknya ini meresahkan banget buat lu dan Hana" saran Ardi yang diangguki Hanif.

"Gue duluan." Hanif melangkah meninggalkan Ardi yang masih duduk di mejanya. Masih setengah jam lagi waktu istrirahatnya. Ardi meneruskan meminum kopinya yang masih bersisa.

Hanif duduk di belakang kemudinya tanpa tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Benar kata Ardi, kenapa dari dulu hingga sekarang hidupnya harus berhubungan dengan hal-hal yang menyeramkan. Ada-ada saja yang selalu menghalanginya untuk hidup tenang. Surat-surat tanpa nama yang selalu ditujukan kepadanya dan juga pesan-pesan yang dikirim melalui Hana.

Atau, si pengirim surat dan sipengirim pesan adalah orang yang sama?. Hanif membuka ponselnya. Mengetik pesan singkat. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya.

Hanif menyalakan mobilnya. Mungkin ide ini terdengar konyol. Tapi semoga saja bisa membuahkan hasil. Ibarat pepatah, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Kemungkinan si pengirim surat dan si pengirim pesan adalah orang yang sama. Walaupun Hanif belum menemukan keterkaitan diantara keduanya. Namun feelingnya jarang melesat.

♡♡♡♡♡

"Konyol!" Gumam Hana usai membaca pesan dari Hanif.

"Siapa yang konyol?" Tanya Rina yang duduk tak jauh dari Hana.

"Siapa lagi yang konyol kalu bukan--" Hana melenguh malas. Diserahkannya ponselnya ke hadapan Rina. Dengan senang hati Rina membaca pesan itu.

"Coba aja, kak! Siapa tahu manjur"

"Manjur...manjur..., emang obat?" Delik Hana kesal.

"Ya terserah sih, kalau kakak pengen tahu siapa yang neror kakak, ada baiknya diikuti sarannya pak Hanif. Kalau nggak ya--" Rina menggantung ucapannya, mengangkat bahu. " abaikan aja. kali aja masalah ini selesai tanpa perlu penyelesaian. Case close. Tapi, kakak nggak akan pernah tahu siapa yang sudah berani neror-neror kakak!"

"Kakak udah kehilangan waktu dan pikiran karena orang sableng itu. Hidup diancam-ancam setiap hari. Dan kakak ngelepasin dia begitu aja? Ya gak segampang itu juga kali, kak! Setiap kita itu berhak tahu akhir dari masalah hidup kita. Bukan dibiarkan, lalu pergi."

Hana mengambil ponselnya kembali. Memikirkan ucapan Hanif dan Rina bergantian. Rina benar. Selama ini, dia hanya membiarkan saja semua masalah yang datang kepadanya. Menganggap semuanya akan hilang seiring waktu berjalan. Tanpa ada penyelesaian. Dulu, waktu dia tahu Hanif menikah, Hana marah dan menangis. Tapi setelah itu, Hana membiarkan saja masalah itu. Setelah sepuluh tahun, mereka bertemu lagi. Dan Hana membiarkan saja Hanif datang lagi ke kehidupannya bersama putrinya, Nadia. Hana tidak pernah bertanya kemana Hanif sepuluh tahun yang lalu?Kenapa dia sampai menikah? Dan dengan baik hati Hana membiarkan saja dirinya menjadi pengasuh bagi Nadia.

Pun begitu, saat Agung ketahuan selingkuh. Hana memang marah. Kepada Agung. Tapi dia tidak pernah menyerang Sari dan memaki-maki perempuan itu kenapa berani-beraninya menghancurkan keluarga kecilnya. Hana juga tidak menghukum Agung karena kesalahannya. Satu-satunya jalan yang Hana lakukan adalah meminta cerai dari Agung. Hana juga tidak pernah membatasi akses Agung untuk bertemu putri mereka. Bahkan Hana berbaik hati membiarkan Agung membawa anak-anaknya setiap akhir minggu untuk menginap di rumah Ayah mereka.

Apakah Hana lemah? Lemah terhadap orang-orang yang sudah menyakitinya?. Rina benar. Tidak semua masalah selesai dengan waktu. Sebagian harus diselesaikan dengan kita yang ikut terlibat sendiri di dalamnya.

Hana mengetik pesan di ponselnya. Menulis kata 'oke' dan mengirimnya segera.

Semoga, semua ini segera berakhir. Harap Hana.

♡♡♡♡♡

Kertas putih itu sudah kotor. Bahkan sebagian sudah tidak terlihat lagi tulisannya. Hanif harus membesarkan bola matanya agar tulisannya terlihat jelas. Hanif teringat akan sesuatu. Benar. Bukankah Irna sudah menyalin semua tulisannya ini ke kertas yang lebih bersih. Hanif mengingat-ingat dimana dia menyimpannya. Hanif mencari diantara buku-bukunya. Ketemu. Terselip diantara buku-buku yang dia gunakan untuk mengajar.

Tulisan tangan Irna sangat bagus. Rapi dan mudah dibaca. Ya, sehemat Hanif, rata-rata tulisan tangan perempuan pastilah sangat bagus. Mengingat perempuan adalah makhluk yang suka dengan keindahan. Seperti Hana. Ahya, tulisan Hana juga sangat bagus-dulu-sewaktu mereka masih sama mahasiswa. Beberapa kali Hanif kerap meminjam catatan Hana. Terkadang bisa sangat lama, hingga Hana mencak-mencak karena dia butuh catatannya untuk belajar.

Soal Hana. Ternyata dia menyetujui gagasan Hanif untuk mencari tahu siapa yang iseng mengirim pesan itu kepada Hana. Meskipun terdengar konyol, tapi Hanif rasa itu satu-satunya cara. Amat tidak mudah mencari tahu siapa yang tega berbuat seperti itu. Mengingat tidak begitu terlihat petunjuk yang sangat spesifik untuk mengungkap siapa pelakunya.

Hanif memijat keningnya sebentar. Tangannya terlulur membuka kertas itu lebih lebar lagi. Besok akan ada mahasiswa yang melaksanakan kompre. Hanif bertindak sebagai dosen pengujinya. Jadi Hanif butuh persiapan untuk itu. Hanif memperhatikan tulisan itu lamat-lamat. Semakin diperhatikan, semakin Hanif merasa kenal dengan tulisan itu. Hanif seperti pernah melihat tulisan ini di suatu tempat. Tapi, dimana?.

Lama berpikir, Hanif teringat akan surat-surat tanpa nama itu. Bergegas, Hanif membuka laci mejanya mencari surat-surat itu disimpan. Hanif bergetar membuka surat itu, seolah-olah ada rahasia besar yang tersimpan di dalamnya.

"Bismillah..." Hanif membuka surat itu, dan mencocokkan tulisan keduanya. Walaupun tidak selalu sama, yang namanya tulisan tangan akan selalu ada kesamaan meski akan berbeda setiap waktu disaat yang menulis dalam kondisi mood yang berbeda-beda.

Hanif membacanya secara perlahan-lahan. Dan setelah membaca dengan sangat teliti. Hanif sampai pada satu kesimpulan. Dan kesimpulan itu membuat Hanif terperangah. Ternyata...selama ini yang mengiriminya surat tanpa nama yang selalu berisi ungkapan perasaannya adalah....

....Irna??

♡♡♡♡♡

Cinta H2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang