Mereka berjalan dengan riang gembira menyusuri jalanan kota yang selalu ramai oleh langkah-langkah kaki dan deru mesin kendaraan.
"Kamu mau makan apa?!" Tanya Hanif kepada putrinya.
"Terserah papa, aja!" Jawab Nadia. Sumringah.
Adalah hal langka, jika mereka bisa berjalan berdua seperti saat ini. Karena terlalu sibuk bekerja-ingin memberi hidup yang layak untuk Nadia- Hanif seperti tak punya waktu untuk anak gadis semata wayangnya.
Kesibukannya sebagai dosen di salah satu universitas swasta dan kepala pimpinan dari bimbingan belajar yang dia rintis enam tahun silam-yang saat ini sudah menghasilkan lulusan lulusan-lebih dari separuh mereka diterima di sekolah atau PTN favorit mereka-sudah menguras hampir seluruh perhatian Hanif. Jadi jika saat ini Hanif ingin menghabiskan waktu bersama Nadia, maka itu sudah wajar menurut Hanif.
Nadia anak yang mandiri. Setiap keperluannya akan dia siapkan sendiri tanpa pernah merepotkan oma dan papanya.
"Pa, kenapa sih, Nadia gak punya Mama?!" Tanya Nadia setelah mereka sampai di salah satu restoran cepat saji. Mereka hanya memesan dua potong ayam goreng, dua nasi, dua air mineral dan kentang goreng. Makanan ini sudah lama dipinta Nadia jika mereka punya kesempatan untuk pergi berdua.
Hanif menatap Nadia. Tersenyum. "Siapa bilang kamu gak punya Mama?!. Hanya saja Mama kamu udah duluan pulang ke sisi Allah." Jelas Hanif.
"Tapi, Nadia mau punya Mama yang bisa bangunin Nadia kalau mau pergi sekolah, siapin sarapan Nadia, nyuci dan gosokin baju Nadia. Ajarin Nadia belajar.." tutur Nadia membuat Hanif terkekeh, dan mengacak kepala Nadia yang ditutupi jilbab. "Apa papa gak mau, kasih Mama buat Nadia?!" Tanyanya lagi.
"Memangnya Nadia mau punya Mama baru?!" Tanya Hanif.
"Mau, pa!"
"Apa Nadia gak takut kalau gambaran Nadia tentang Mama tidak seperti yang Nadia harapkan?!"
"Memangnya, ada ya, Mama yang gak sayang sama anaknya, pa?!"
Hanif terdiam. Banyak, nak! Banyak sekali. Bahkan banyak orang tua kandung yang rela meninggalkan anaknya, memukul anaknya, hanya karena mereka terbebani dengan anak-anaknya sendiri.
Hanif menatap Nadia dalam. Bukan Hanif tidak mau menikah lagi dan memberikan Nadia Mama baru. Tapi, banyak pertimbangan mengapa hingga sekarang Hanif masih betah menduda. Tak lain karena Hanif memikirkan Nadia. Jika omanya saja bisa berlaku kasar dengan Nadia, apatah lagi Mama barunya nanti. Siapa yang bisa menjamin, jika Hanif tidak di rumah, Nadia akan baik-baik saja?! Apa mungkin istri baru Hanif bisa menerima Nadia seikhlas Ibu kandung? Apa istri baru Hanif bisa menyayangi Nadia jika mereka nanti punya anak lagi?!. Memikirkannya saja, Hanif sudah takut duluan. Maka dari itu, Hanif tidak pernah memikirkan tentang masalah ini kalau saja Nadia tidak bertanya.
♡♡♡♡♡
Selesai jalan, Hanif mengajak Nadia ke suatu tempat.
"Kita mau kemana lagi, pa?!" Tanya Nadia antusias.
"Lihat saja nanti. Kamu pasti suka!"
Mobil brio warna abu-abu memasuki kawasan perumahan penduduk. Karena banyak anak-anak dan polisi tidur, Hanif memelankan laju mobilnya.
"Ini kan, jalan ke sekolahan Nadia, pa!" Seru Nadia melirik papanya.
"Pokoknya, kamu tenang aja. Papa punya kejutan buat kamu!"
Mobil berhenti tepat di depan rumah berwarna krem. Begitu mereka turun dari mobil, seorang bapak tua berpeci hitam sudah menunggu di depan pintu. Melihat Hanif, wajahnya sumringah. Hanif menggandeng tangan Nadia. Berjalan menuju tempat Bapak itu berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta H2 ✔
RomanceHana dan Hanif bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun situasi mereka tak sama lagi. Keduanya sama-sama telah terikat pernikahan dan memiliki anak. Tapi cinta tak pernah kenal waktu. Cinta mampu menembus hati yang batu sekalipun. Cinta mampu men...