Mereka duduk di meja persegi, yang terletak agak menjorok ke dalam. Sengaja, supaya mereka terhindar dari kesibukan orang-orang yang berkunjung ke kafe ini. Maklumlah, baru tanggal muda, dimana orang-orang masih bisa tersenyum lega melihat lembaran merah dan biru masih tersimpan rapi di dompet mereka.
Tiga gelas yang berisi kopi mengepulkan asap berwarna putih, dengan aromanya yang khas membuat para pecinta kopi mau tak mau harus menyeruput si hitam itu.
"Gimana kelanjutan hubungan lo dengan Hana?!" Tanya Ardi yang memainkan pinggiran gelas kopinya membentuk lingkaran berulang-ulang. Dua mata menatap Ardi. Satu dengan pandangan kaget. Yang satunya lagi, mencoba mencari cara agar Ardi tidak melanjutkan pertanyaan berikutnya.
"Memang kenapa antara gue dan Hana?!" Tanya salah satu dari mereka.
Ardi tergelak. "Lo pikir gue anak kecil?"
"Maksud gue, gak ada apa-apa antara gue dan Hana" jawabnya, mengangkat gelas kopi miliknya.
Ardi mencondongkan tubuhnya ke depan meja. "Jadi lo, mau begini terus, sampai tua?! Apa lo gak merasa kesepian?!"
"Ardi benar, Nif! Udah saatnya lo pikirin masa depan lo! Istri lo udah lama meninggal. Dan Hana-- dia sudah bercerai dari suaminya! Gue rasa, kalaupun lo ingin menjalin hubungan serius, lo gak salah apa-apa!" Timpal Raihan.
"Udah saatnya lo hidup normal, nif!" Timpal Ardi.
"Jadi selama ini, gue gak normal gitu?!"
Ardi menepuk pundak Hanif. "Maksud gue--aduh, lo ini dosen apa bukan sih?!" Ardi mengerang geram. " hidup sendirian tanpa pendamping bikin otak lo juga tumpul ya?!"
Raihan dan Hanif tertawa bersamaan. "Gue takut, gak berani." Hanif menatap Ardi, "gue takut membuat hubungan baru bersama Hana. Kalau sikap Hana berubah ke Nadia gara-gara gue, bagaimana?! Gue lihat gimana sayangnya Hana sama Nadia. Kalau gue ajukan proposal hidup bersama, dan Hana menolak, apa mungkin Hana bakal tetap berlaku normal ke Nadia?! Bisa-bisa Hana mengurangi perjumpaannya dengan Nadia karena ingin menghindari gue!" Jelas Hanif, membuat Ardi dan Raihan terpana. Jauh sekali pemikiran teman mereka yang satu ini. Tapi bukan Hanif namanya kalau berlaku sembrono. Hanif adalah laki-laki yang selalu memikirkan resiko dari setiap perbuatannya. Satu kebodohan yang dilakukan Hanif seumur hidupnya adalah melepaskan Hana dan bertanggung jawab untuk perempuam yang jelas-jelas tidak mengandung anaknya.
"Iya juga, sih!tapi, kalau gue boleh nyaranin, sebaiknya lo ambil langkah cepat aja, bro! Kalau lo kelamaan mikir, bisa-bisa si Hana disambar orang" cetus Ardi. Hanif terdiam. Apa yang dikatakan Ardi ada benarnya. Tapi untuk benar-benar mengajak Hana membuka lembaran baru adalah hal yang sulit bagi Hanif.
"Ya udahlah, kalau menurut lo itu bukan hal yang penting! Seenggaknya sebagai teman gue udah kasih pendapat gue ke elo!" Ardi mengangkat gelas kopinya dan meminumnya dengan nikmat.
♡♡♡♡♡
"Apa ini?!" Hana menerima tas kertas yang disodorkan kepadanya.
"Sedikit oleh-oleh!"
Hana mengernyit. "Buat apa?!" Tanya Hana bingung. Entah sudah berapa kali Hanif memberikan oleh-oleh untuknya. Hana merasa Hanif terlalu berlebihan. Dan Hana tidak suka dengan sikap Hanif yang seperti ini. Mungkin lebih baik kalau sikap Hanif itu kaku kepadanya. Dan itu akan mengurangi sedikit perasaan yang entah sejak kapan bercokol di hatinya.
"Dari Raihan dan Ardi! Tadi aku ngopi bersama mereka! Lalu mereka teringat kamu, makanya dibelikan ini!" Jawab Hanif berbohong. Karena sesungguhnya Ardi dan Raihan tidak pernah membelikan Hana oleh-oleh. Itu murni inisiatifnya sendiri. Apalagi Hana sudah sangat berjasa dalam menjaga Nadia beberapa bulan belakang ini. Dan Nadia begitu lengket dengan Hana, seolah Hana itu adalah Ibu kandungnya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta H2 ✔
RomanceHana dan Hanif bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun situasi mereka tak sama lagi. Keduanya sama-sama telah terikat pernikahan dan memiliki anak. Tapi cinta tak pernah kenal waktu. Cinta mampu menembus hati yang batu sekalipun. Cinta mampu men...