Hana menghindarinya. Benar. Tak salah lagi. Ini bukan yang pertama. Tapi sudah yang keempat kalinya. Dan Hanif tak mengerti atas alasan apa Hana menghindarinya. Apa ada perkataan dan perbuatan Hanif yang membuat Hana tersinggung?!.
Hanif memyenderkan pungggungnya ke kursi. Matanya melirik jam di dinding ruangannya.
"Kopi, pak?!" Suara Irna di depan pintu mengagetkan Hanif. Tanpa menunggu persetujuan Hanif, Irna melenggang masuk sambil membawakan segelas kopi. Asapnya masih mengepul di udara. Wangi khas kopi buatan Irna. Entah mengapa, Irna begitu setia menyajikan kopi walaupun Hanif tak meminta. Dan sepertinya, Irna rela tak dibayar untuk pekerjaannya yang satu ini.
"Bapak ada masalah?!" Tanya Irna, berdiri di depan meja Hanif.
"Ya?!" Hanif membenarkan posisi duduknya, memandang Irna sekilas, lalu kembali menatap meja yang dipenuhi buku dan beberapa tumpukan tugas dari mahasiswanya.
"Kalau ada masalah jangan terlalu dipikirkan, pak! Dibawa santai aja. Ntar juga kelar sendiri!" Cerocos Irna. "Kalau saya sih, begitu pak! Mau seberat apapun masalah, nggak akan saya paksa diri saya berpikir diluar kemampuan saya!" Tertawa, "buat apa?! Ntar yang sakit saya juga!"
Hanif bergeming. Salah satu tangannya menopang dagu. Masalah yang menimpanya akhir-akhir ini memang sedikit membuat kepalanya pusing. Satu hal yang bisa membuat Hanif lega adalah Nadia dan juga Hana. Tapi, sikap Hana yang menghindarinya menimbulkan seribu tanya di benak Hanif.
"Masalah anak ya, pak?!" Suara Irna kembali terdengar. "Atau--perempuan?!" Gumam Irna.
"Perempuan?!" Dua alis Hanif terangkat. "Kelihatan ya?!"
"Jadi benaran, masalah pak Hanif karena perempuan?!" Tanya Irna kaget. Suaranya nyaris timbul tenggelam. Bersamaan dengan debaran jantungnya yang tak menentu. Jadi pak Hanif sudah punya seseorang yang disukainya?. "Saya kenal, pak?!" Tanya Irna pelan.
Hanif menatap Irna. "Orang seperti saya mana mungkin kenal dengan perempuan yang pak Hanif suka!" Ralatnya cepat. Irna tertawa, getir. Entah mengapa ada nada tak rela dari suaranya. Ternyata dia masih belum bisa meraih simpati Hanif. Setelah sekian tahun berusaha, mencoba mendapatkan hatinya, tapi Irna tak pernah berhasil. Hanif seperti tak terjamah. Laki-laki itu seakan membentengi dirinya dengan tembok yang sangat tinggi.
"Kalau begitu, saya permisi dulu, pak!" Pamit irna, berjalan keluar dari ruangan Hanif.
♡♡♡♡♡
"Kak Hana?!" Rina terlihat ragu. Kepalanya menoleh ke belakang. "Sepertinya lagi tidur, pak!"
Hanif manggut. Hana menghindar lagi. "Tolong berikan ini kepadanya." Hanif menyerahkan tas kertas ke tangan Rina.
"Ini--" Rina melihat isi di dalamnya.
"Saya cuma tinggal berdua Nadia. Pasti tidak habis. Lebih baik habis di perut dari pada habis dibuang!" Beritahu Hanif masih terpaku di tempatnya. Rina menatap Hanif bingung. Apa papa Nadia ini akan tetap berdiri di sini atau-- "kalau begitu saya pulang dulu!" Potongnya dengan mata masih melirik ke dalam.
Rina mengangguk sopan. Kenapa dia yang menjadi tumbal diantara keduanya?! "Terima kasih banyak, pak!" Rina menutup pintu dan membalikkan badan.
"Sudah pulang?!" Suara Hana mengagetkan Rina, yang berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya ia sandarkan ke tembok.
"Astaghfirullah! Kak Hanaa!!" Rina tergesa- gesa mendekati Hana. " buat kakak!" Rina menyodorkan tas kertas ke tangan Hana. "Kayaknya papa Nadia itu maunya ketemu sama kakak. Bukan sama Rina! Oleh-oleh ini cuma alasan!" Cibir Rina, sembari masuk ke dalam. Duduk di atas sofa, menyalakan televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta H2 ✔
RomanceHana dan Hanif bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun situasi mereka tak sama lagi. Keduanya sama-sama telah terikat pernikahan dan memiliki anak. Tapi cinta tak pernah kenal waktu. Cinta mampu menembus hati yang batu sekalipun. Cinta mampu men...