.
.
.
.Muhammad Hanif
Kalau Forrest Gump bilang hidup ini ibarat sekotak coklat, maka aku akan menyetujuinya. Selain rasa manis yang kita dapat dari coklat, maka kita juga akan merasakan rasa pahitnya. Allah telah menuntun jalan hidupku hingga sampai ke titik yang aku inginkan. Ke titik dimana akan ada seseorang yang akan menungguku dan mekbersamaiku selamanya. Ya, dia adalah Rihana Astuti. Hana, perempuan yang semenjak Aku menginjak kaki di bangku kuliah sudah mengalihkan duniaku. Perempuan dengan jilbab lebarnya, yang senantiasa berkibar seperti bendera, tak perduli dengan perempuan di sekelilingnya yang bergaya sangat modis.
Hana adalah Hana. Tidak akan pernah berubah, meskipun harus tenggelam diantara mahasiswi yang sibuk mengomentari penampilan sesamanya. Hana tidak perduli, bahkan di sampingnya, para kaumnya tengah membicarakan model baju yang lagi mode saat itu. Bahkan dia tak perduli jika tidak diajak nimbrung sekalipun. Dia, terlalu asyik dengan dunianya sendiri.
Tapi aku, tak pernah perduli akan hal itu. Bagiku, kecantikan perempuan bukanlah karena polesan. Kecantikan hati mereka adalah yang paling utama bagiku. Dan Hana memiliki itu. Mungkin kalian akan mengatai aku lebay. Tapi ya terserah saja. Memang itu yang aku rasakan. Karena bukan tanpa sebab aku berpendapat begini. Dari kecil, aku sudah ditinggal pergi oleh Ibu kandungnku. Untuk melengkapi kekosongan posisi seorang Ibu, Ayah menikah lagi. Kalian pikir, hidup ku berubah? Ya, memang berubah. Tapi tak pernah semengerikan ini. Ibu tiriku sangat suka menyuruhku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Mulai dari mencuci, memasak, mengepel. Aku sudah seperti cleaning service saja ketimbang seorang anak.
Tapi, karena aku menghormati Ayah, maka aku tahan semua. Bahkan ibu tak sungkan menyuruhku mengepel di depan Lisa. Padahal, Lisa sudah dalam usia yang sudah bisa dimintai tolong. Lagi-lagi Aku menahannya. Sudahlah, tak ada gunanya melawan. Apalagi bertengkar dengan makhluk lemah bernama perempuan. Yang ada aku hanya akan seperti banci saja karena hanya berani dengan yang lemah.
Dari kecil, Ibu kandungku kerap berpesan, agar jangan pernah menyakiti perempuan, sekecil apapun itu. Bahkan jangan pernah berani menyentuh mereka sebelum mereka Halal untukku. Meskipun tak pernah paham dengan perkataan Ibu, toh aku menyimpannya di dalam memoriku hingga menginjak dewasa, barulah aku paham apa maksud dari perkataan Ibu. Ternyata, jenis pergaulan yang terlalu bebas, membuat laki-laki dengan gampangnya menyentuh perempuan. Sebaliknya, perempuan juga senang-senang saja bersentuhan dengan kaumku. Kadang mereka duduk berdempetan, saling tertawa bersama, jalan berdua, nonton berdua, sudah seperti pasangan halal tapi belum diikat pernikahan.
Lalu, datanglah Hana, dengan segala keunikannya. Dia tidak pernah mau diajak jalan oleh teman seangkatannya, tidak mempan di rayu dan digoda oleh lawan jenis. Bahkan lebih senang bergaul dengan teman yang itu- itu saja.
Rani dan Yuli adalah temannya. Mereka sudah seperti tiga serangkai yang kemana-mana selalu bersama.Tok. Tok. Tok.
Pintu kamarku diketuk dari luar. Pantulan wajah seseorang terlihat melalui cermin tempatku berdiri.
Ardi.
"Wuihh, calon mempelai. Sudah siap?" Tanyanya sembari menyampirkan satu tangannya ke pundakku, membuat tubuhku turun beberapa senti.
Aku melepas tangannya kesal. Selalu saja tidak berubah.
"Sudah." Jawabku sambil membereskan jas yang kupakai untuk akad pagi ini. Setelah melalui diskusi singkat hari itu, pernikahan kami dilaksanakan tiga minggu kemudian. Mengingat ini bukan pernikahan pertama Aku dan Hana, jadi tidak perlu bermewah-mewah. Cukuplah seadanya saja, dengan memberitahu tetangga, teman dan kerabat. Tidak ada iringan musik, karena dari Hana sendiri yang tidak mau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta H2 ✔
RomanceHana dan Hanif bertemu setelah sekian lama terpisah. Namun situasi mereka tak sama lagi. Keduanya sama-sama telah terikat pernikahan dan memiliki anak. Tapi cinta tak pernah kenal waktu. Cinta mampu menembus hati yang batu sekalipun. Cinta mampu men...