CINTA H2 ; 35

3.3K 238 2
                                    

Pukul dua dini hari.

Hana tak bisa memejamkan matanya. Dari tadi dia hanya membolak balik badannya saja. Miring ke kanan susah. Miring ke kiri juga begitu. Untung saja ke tiga anaknya tidak terganggu dengan pergerakan Hana yang lumayan berisik.

Di luar hujan deras mengguyur bumi. Hawa dingin perlahan masuk menyentuh kulit. Hana merapatkan sweater nya, mencoba mengusir dingin. Hana membuka pintu kamar. Pertemuan dengan Agung di rumah sakit kemarin, sukses memporak porandakan suasana hati Hana. Setega itu Agung kepada anaknya sendiri. Tak habis pikir Hana dengan sikap mantan suaminya itu. Dia pikir pernikahan dan punya anak itu sebuah lelucon?. Tidak suka dengan ini, tinggal cari yang lain.

Hana menyalakan televisi. Salah satu saluran menayangkan berita ayah yang menelantarkan anaknya dan menjadikan anaknya sebagai tulang punggung keluarga dengan menjadi pengemis. Padahal, si Ayah masih terlihat mampu untuk mencari nafkah.

Hana miris melihat berita zaman sekarang. Entah dunia yang sudah tua, atau manusia yang sudah sangat edan. Tanggung jawab yang seharusnya berada di pundaknya, beralih fungsi kepada si anak. Padahal, si anak harus belajar dan bersekolah supaya bisa mengangkat derajat keluarga. Tapi--

Sayup-sayup pintu rumah diketuk dari luar. Hana terkejut. Dipelankannya suara televisi. Dengan berjinjit, Hana mendekat ke pintu. Meletakkan telinganya ke dinding pintu.

Bunyi petir, hujan deras, membuat suara diluar hilang timbul.

"Hana!"

Hana terlonjak. Dari mana dia tahu kalau Hana yang berdiri di depan pintu sekarang?! Hana membuka tirai jendela. Dan mata Hana membola begitu melihat Hanif berdiri di luar rumahnya dengan rambut basah dan baju yang hampir kuyup. Tangannya bersidekap ke dada, memberi kehangatan.

Buru-buru Hana memutar kunci pintunya. Sepersekian detik, tatapan mereka bertemu.

"Hana, maaf mengganggu! Nadia--dia--hilang!!"

"A--appa?!"

Dan di sinilah Hana sekarang. Duduk di samping Hanif yang tengah mengemudi mobil ditengah hujan yang sedang turun dengan derasnya. Kilat menyambar silih berganti. Berkali-kali Hana mengucap, melafazkan asma Allah di dalam hati.
Rina duduk di belakang kemudi.

Setelah Hanif datang tadi, Hana bergegas membangunkan Rina dan bundanya. Meminta izin pada bunda untuk menemani Hanif mencari Nadia. Mulanya, bunda tidak setuju. Setelah sedikit memelas, dan mengajak Rina ikut serta, dan berjanji, tidak terjadi apa-apa diantara mereka, bunda mengizinkan walau berat hati.

"Nadia, kamu dimana, nak?!" Suara Hanif keluar bersamaan petir yang menyambar. Hana hanya diam tanpa ikut bersuara. Mata Hana menelusuri jalanan yang sudah teramat sepi. Kemana perginya Nadia di tengah malam begini, hujan lagi. Sebenarnya apa yang membuat Nadia kabur dan mengapa wajah Hanif begitu tegang?. Berbagai macam pertanyaan silih berganti bermain di kepala Hana.

Hanif membelokkan mobilnya ke salah satu jalan. Di sana ada warung yang masih buka. Tergesa-gesa Hanif turun dari mobil. Tak perduli dengan badannya yang sudah basah. Hanif tampak berbicara dengan pemilik warung. Terlihat pemilik warung itu menggeleng pertanda dia tidak melihat dan tahu keberadaan Nadia.

Hanif berlari lagi masuk ke dalam mobilnya.
"Sial!!" Hanif memukul kaca jendelanya kesal, dan penuh amarah melajukan mobilnya. Hana salah tingkah dibuatnya. Ingin menghibur, takut salah situasi. Lagi pula Hanif bukan siapa-siapanya. Yang bisa Hana lakukan hanyalah berdo'a semoga Nadia segera ditemukan.

Mobil berjalan terus menyusuri jalan yang temaram. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Sepertinya orang-orang lebih memilih bergelung dengan selimut mereka ketimbang duduk di depan televisi ataupun berkeliaran di luar rumah.

Cinta H2 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang