28

998 166 40
                                    

Kalau tidak karena paksaan Ben lewat chat tadi, Arga tidak akan mau menginjakkan kakinya ke studio ini. Melihat studio The Devil's Talk, hanya akan membuatnya ingat akan hal yang sudah dilakukan oleh Cetta. Siang tadi, Ben dan Manuel mencoba membujuknya untuk datang ke studio, membicarakan masalah yang sedang ia hadapi. Arga beruntung melihat Kayla ada di depan kamarnya siang tadi. Karena kehadiran Kayla justru sedikit membantunya.

Dengan langkah kaki yang berat, Arga akhirnya membuka pintu studio, memperlihatkan Ben dan Manuel yang sedang duduk bersama. Ketiganya bergeming, hingga tawa Ben pecah, membuat Arga mengernyitkan dahinya bingung.

"Aduh, Ga, gue enggak tahu lo suka hello kitty." komentar Ben, membuat Arga refleks meletakkan tangannya di pelipis dan segera mengecek dirinya sendiri di handphone.

"Ah, pantesan aja dia minta maaf tadi." gumam Arga sambil mengusap hansaplast hello kitty yang Kayla tempelkan tadi di pelipisnya.

"Dia siapa?" tanya Manuel.

"Bukan siapa-siapa," balas Arga lalu duduk di samping Ben. "Jadi, kenapa?"

"Kita harus bicarakan masalah ini, Ga." ucap Ben dengan serius. Tak ada lagi suara tawaan seperti yang dia lakukan beberapa detik lalu. "Ini juga menyangkut The Devil's Talk Ga. Gue enggak bisa pura-pura enggak terjadi apa-apa. Karena lo dan Cetta bagian dari itu."

"Terus kenapa lo enggak panggil si bangsat itu ke sini?"

"We've tried." sahut Manuel. "Tapi dia enggak angkat, dan ditelepon lagi enggak nyambung, Ga."

Arga hanya diam. Sejujurnya, ia sudah tidak ingin tahu apa yang akan terjadi dengan The Devil's Talk. Walaupun Cetta meminta maaf kepadanya, Arga tidak yakin bisa melihat Cetta dengan cara yang sama lagi. Apa yang sudah Cetta dan Vina lakukan benar-benar membuatnya sakit. Dan Arga belum bisa ikhlas, seperti yang Kayla katakan kepadanya.

"Dia bilang," Arga akhirnya bersuara, memberi jeda sebentar di antara kalimatnya. "Cetta bilang, The Devil's Talk enggak ada artinya buat dia. Lo mau pertahanin apa lagi, Ben?"

Ben dan Manuel saling melempar pandang. Untuk beberapa saat, mereka termangu, sibuk dengan pikiran masing-masing—atau malah, tidak tahu harus merespon apa karena mereka tidak merasakan sakit yang sama dengan yang Arga rasakan. Tidak adil rasanya jika Ben memaksa Arga untuk memaafkan demi kepentingan band yang susah payah mereka bentuk sejak masa SMA.

Mendengar kedua temannya tak kunjung bersuara, Arga merasa sudah sia-sia datang ke tempat ini. Arga kemudian bangkit berdiri dan bermaksud untuk pulang ke rumahnya. Namun belum sempat kakinya melangkah ke depan pintu, Cetta lebih dulu muncul di depannya. Membuat Arga mengurungkan niat dan menatap Cetta dengan sorot mata yang marah.

"Ta, lo dateng." Manuel tersenyum lega dan menghampiri Cetta. Akan tetapi, Cetta malah melangkahkan kakinya mundur, menolak Manuel untuk mendekatinya.

"Kenapa lo panggil gue ke sini?" ujar Cetta. "Gue rasa semuanya udah jelas? Mau gue minta maaf gimana pun, enggak akan merubah apa-apa di The Devil's Talk. Lagipula... Band ini enggak punya masa depan."

Arga mendengus, "Band ini emang enggak punya masa depan, kalau di dalamnya terus ada lo, Ta."

Cetta menoleh kepada Arga dan menatapnya tajam. Lelaki itu tersenyum menyeringai, seolah sedang mencemooh Arga. "Lo tahu enggak apa aja yang udah gue lakukan sama Vina, tiap dia kambuh?"

Arga terdiam sejenak. Mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Kalau ada masalah itu, enggak baik diselesaikan dengan emosi."

Ucapan Kayla saat di rumahnya tadi tiba-tiba terbesit di benaknya, membuat Arga menghembuskan napas dan memberanikan diri untuk menatap Cetta lagi. Namun pandangannya tidak sama dengan beberapa detik sebelumnya. Kali ini, Arga jauh lebih tenang.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang