21

1K 162 34
                                    

Arga

Gue enggak ngerti, kenapa gue selalu ketemu Kayla di moment yang enggak tepat. Contohnya, pertama kali ketemu Kayla di SMA-nya dulu, kita enggak sengaja lewat saat temennya berantem. Lalu sekarang, Kayla yang enggak sengaja menabrak gue, setelah lima bulan enggak ketemu.

Gue memungut ponselnya yang terjatuh. Gue sedikit kaget, saat melihat Kayla menangis. Ternyata, bokapnya masuk rumah sakit. Gue tentu bisa ngerti gimana paniknya dia sekarang.

"Gue antar. Tapi lo tunggu di sini, jangan ke mana-mana."

"Kak—"

Gue juga enggak ngerti kenapa gue menawarkan diri untuk mengantar Kayla ke rumah sakit. Tapi, ngelihatin anak orang nangis dengan tangan yang bergetar, enggak mungkin gue diem aja, kan? Tanpa dengerin ucapan Kayla selanjutnya, gue segera berlari ke ruang tunggu The Devil's Talk.

"Eh, Ga, tadi HP lo—mau ke mana lo?" tanya Ben yang bingung ngelihat gue langsung beres-beres.

"Gue mau pergi bentar. Ntar gue balik lagi."

"Mau ke mana?" tanya Manuel tenang, namun menuntut jawaban yang jelas. Manuel itu, lebih galak dari Ben. Walaupun status Ben adalah ketua The Devil's Talk, tapi kita-kita ini lebih nurut kalau udah Manuel yang ngomong.

Gue menarik napas dalam-dalam lalu menatap Manuel, Ben, dan Cetta yang sejak tadi hanya duduk di atas sofa sambil memainkan ponselnya. "Gue ketemu Kayla di depan. Enggak sengaja. Bokapnya masuk rumah sakit dan gue mau nganterin."

Manuel kemudian ngelepasin pegangannya pada tangan gue lalu mengangguk mengerti. Begitu juga dengan Ben. Tapi, tidak dengan Cetta.

"Serius lo? Kalau Vina tahu, gimana?"

"Dia enggak bakalan tahu kalau enggak ada dari lo yang ngomong ke dia."

Cetta kemudian terdiam, lalu membuat gerakan seolah sedang mengunci bibirnya dan membuang kunci itu jauh-jauh. Gue tersenyum tipis lalu meraih tas gue dan berjalan ke dekat pintu.

"Kabarin gue kalau ada apa-apa. Gue cuma bentar."

"Take your time, Ga." ujar Ben. Gue mengangguk lalu berlari ke luar ruangan dan kembali ke tempat Kayla menunggu. Gue cukup kaget, karena dia benar-benar patuh dan tak bergerak sedikit pun.

Dia masih memandang gue dengan bingung. Tapi, tanpa menunggu lagi, gue segera menarik tangannya pergi dari tempat itu.

-ooo-

"Ayah!"

Kayla berlari ke arah Om Ridwan lalu memeluk ayahnya erat. Gue bernapas lega karena ternyata kita sampai lebih cepat dari dugaan gue. Seperti yang gue duga, semua yang ada di ruangan itu kaget lihat muka gue. Terutama Kelvin, abangnya si Kayla.

Sejak pertama ketemu Kelvin, gue tahu kalau dia enggak pernah suka sama gue. Yah, gue bisa ngerti kok. Kalau gue punya adik pun, gue enggak bakalan setuju ngelihat hidup adik gue diatur-atur.

Setelah sedikit berbasa-basi, Kayla izin ke kamar mandi untuk menghubungi temannya. Dan saat itu pula, Kelvin ngajakin gue ngomong ke luar. Mau enggak mau, gue emang harus ikut sama dia. Gue ngikutin Kelvin yang membawa gue sedikit menjauhi kamar Om Ridwan. Lorong itu tidak begitu ramai dan Kelvin sesekali melirik ke arah pintu.

"Kenapa lo nganterin adek gue?"

Gue enggak expect dia bakalan nanyain ini sebenernya. Tapi sekali lagi, gue bisa ngerti.

"Ngelihat orang yang gue kenal nangis di depan gue, gue harus diem aja gitu? Sorry, bro. Gue enggak sekejam itu."

"Tapi, lima bulan lalu, waktu adek gue jatuh di depan lo, lo diem aja, kan?"

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang