32

979 160 15
                                    

Tidak ada perpisahan yang tidak menyedihkan, sekalipun itu memberikan kenangan buruk. Bertahun-tahun memulai semuanya dari nol bersama The Devil's Talk membuat Arga merasa bahwa mereka lebih dari sekadar teman. Mereka adalah rumah, rumah tempat Arga akan pulang ketika rumah lainnya memberikan masalah untuknya. Arga tidak akan lupa bagaimana kebaikan setiap orang yang ada di dalam rumah itu kepadanya. Termasuk Cetta sekalipun.

"Lo dateng, Ga." Ben menyapa Arga, begitu ia mendapati lelaki itu berjalan menghampiri meja yang ia duduki bersama Manuel.

Arga menepati janjinya untuk datang ke Reville seperti yang Manuel minta di siang hari tadi. Melihat Arga datang, membuat Manuel tersenyum lega sekaligus ia merasa pahit. Pahit, karena harus meninggalkan teman-temannya itu.

"Sorry, gue telat." kata Arga sambil menduduki kursi kosong di sebelah Ben. "Gue nganterin anak kecil balik ke rumahnya."

"Hahahaha, anak kecil!" Ben tergelak. "Dia cuma beda empat tahun kali dari lo, Ga."

Arga tersenyum. "Tapi dia tuh lebih dewasa dari gue. Badannya aja yang kayak anak kecil."

"Ga... Lo—"

"No, gue enggak jatuh cinta sama Kayla," tukas Arga menanggapi Manuel yang kaget. "Gue cuma salut sama pemikirannya yang dewasa dan mandiri. Bahkan di saat masalah gue tiba-tiba disangkut pautin ke dia, dia enggak marah sedikit pun. Dia malah bilang ke gue jangan berantem."

Manuel mengulum senyumnya. "She's a good person,"

Seulas senyum tampak menghiasi wajah Arga. Arga tidak akan berani menampik ucapan Manuel itu. Sebab apa yang Manuel katakan sudah sangat jelas. Kayla memang seseorang yang memiliki hati yang lembut. Perempuan itu tahu bagaimana cara menenangkan perasaan seseorang lewat kata-katanya. Ajaibnya, Arga pun ikut merasa tenang jika berbicara dengannya.

Namun, Arga bisa memastikan, bahwa itu bukan perasaan cinta.

"So... Is this the end of us?" gumam Ben pelan sambil menatap tequilla yang ia pesan tadi. "Gue enggak nyangka, yang bakalan ngehancurin kita malah kita sendiri."

"Gue harap Cetta bisa berubah... Walaupun gue enggak yakin sih." timpal Manuel.

"What he needs isn't us. But his family." ujar Arga.

"Apa yang lo harapkan dari keluarga dia? His dad thought that money could buy everything." Ben terkekeh pelan, membuat Arga dan Manuel ikut tersenyum mendengar ucapannya. "Tapi besok gue coba ngomong deh ke mamanya Cetta. Doain gue sama Sarah berhasil ya."

"Lo ajak Sarah?" tanya Manuel.

Ben mengangguk. "Sarah kan pinter ngomong. Kalau gue mah, mana ada. Yang ada ntar gue emosi."

Manuel tiba-tiba tertawa, teringat dengan sesuatu. "Inget enggak waktu SMA? Waktu Ben sok-sokkan mau ngomong sama Guru BK soal ketahuan ngerokok di belakang sekolah."

Mendengar ucapan Manuel, Arga tergelak hebat. "Inget, inget! Awalnya udah bijaksana banget, ujung-ujungnya malah berantem woi. Gila aja, lo hampir di DO karena ngajakin Guru BK berantem!"

Ben berdecak, ikut mengenang masa sekolah mereka. "Habisnya, belagu banget. Masih magang aja lagaknya udah kayak umur empat puluhan."

"I miss those moments," Manuel mengulum senyumnya lagi. Matanya seolah bercerita, apa saja yang terjadi saat masa sekolah mereka. "Kita cuma anak SMA yang suka berantem, bolos, ngerokok diem-diem. Everything was perfect back then."

Arga dan Ben termangu, ikut memikirkan bagaimana indahnya hari-hari itu. Masa di mana mereka hanya memikirkan bagaimana caranya lulus sekolah, lalu merubah gudang di rumah Ben yang tidak terpakai lagi untuk dijadikan studio. Masa di mana mereka masih semangatnya untuk mencoba berdiri di atas panggung dan meraih mimpinya.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang