Kayla
"Kayak mimpi, Din."
Dina yang tadinya sedang menyusun pakaian-pakaian yang akan ia bawa ke Yogyakarta, refleks menghentikan kegiatannya dan menatap saya. Ia kemudian tertawa, tetapi tawanya lebih terdengar seperti mengejek. Sehingga saya pun ikut tersenyum karenanya.
"Lebay amat sih lo, Kayla Gesitaaa." katanya kemudian dan sejujurnya, saya sudah menebak ia akan mengatakan itu. "Itu enggak mimpi, Kay. Belum, maksud gue. Kalau Kak Arga udah jatuh cinta sama lo, itu baru yang namanya mimpi."
Saya mendengarkan ocehan Dina dengan seksama. Mata saya kemudian menatap kepada boneka—yang diberikan Bayu sebagai kenang-kenangan untuk Dina—dan memainkan boneka panda itu.
"Emang semimpi itu kalau misal Kak Arga naksir gue?"
"Bukan itu maksudnya, dodol." kata Dina lagi. "Gini, lo kan cerita, gimana bucinnya Kak Arga sama—"
"Kak Arga-nya enggak bucin, Din. Yang bucin itu Kak Vina." potong saya cepat.
"Astaga. Iya, Kayla, Iya. Yang bucin itu Kak Vina. Noted." lanjut Dina lagi. "Tapi enggak mungkin kan semudah itu Kak Arga move on dari Kak Vina. Se-toxic apa pun hubungan mereka dulu. Pasti banyak hal yang udah mereka lalui, kayak—"
"Stop." Sumpah. Saya tidak mau mendengar hal yang sebenarnya sudah saya tahu. Karena rasanya, saya semakin tidak punya tempat di hati Kak Arga. Tapi, saya seyakin apa sih memangnya bisa bersama dengan Kak Arga? Aneh.
"Kay, gue tuh bukannya mau bikin lo down. Tapi, emang mereka beneran putus? Terus, si cewek ada ngehubungin lo lagi enggak?"
Saya menggeleng. Benar juga, sih. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan saya dengan Kak Arga di kamar Ayah hari itu. Sejak itu pula, saya tidak lagi bertukar kabar dengan Kak Arga Instagram. Saya tidak pernah mendengar tentang Kak Arga kecuali Ayah atau Bunda yang menyinggungnya di rumah. Ah iya, Ayah sudah boleh pulang dan Alhamdulillah sekarang sudah suka mengomeli Kak Kelvin. Itu tandanya, Ayah sudah sehat.
"Besok pesawat jam berapa, Din?" tanya saya mengganti topik pembicaraan. Dan untungnya, Dina sama sekali tidak keberatan akan hal itu.
"Jam sembilan pagi, Kay. Gue mau bersih-bersih kosan juga soalnya."
Saya mengangguk-angguk paham. Dina menolak untuk tinggal di rumah neneknya yang memang sangat jauh dari kampusnya. Selain itu, kata Dina, ia ingin hidup bebas. Kalau di rumah neneknya, sudah pasti akan banyak sekali peraturan. Saya tersenyum miring mengingat hari di mana Dina mengatakan itu kepada saya, Bayu, dan Saka.
Ah, ngomong-ngomong soal Bayu, dia juga sedang sibuk untuk kepindahannya ke Malang. Sama seperti Dina, Bayu juga lebih memilih untuk tinggal di rumah indekos. Walaupun saudaranya ada yang tinggal di Malang. Sepertinya, setelah dari rumah Dina, saya akan bertamu ke rumah Bayu. Kalau soal Saka sih... Saya tidak sedekat dulu. Dan saya tidak tahu Saka sedang ada kesibukan apa sekarang. Sepertinya, sibuk dengan persiapan kuliahnya.
Mereka bertiga sibuk dengan persiapan kuliah. Sedangkan saya? Tidak banyak yang saya selakukan. Melihat bagaimana antusiasnya Dina, Bayu, dan Saka, saya malah bertanya-tanya apakah keputusan saya untuk tidak melanjutkan kuliah dulu itu sudah tepat?
Sebenarnya, saya sudah punya ide akan melakukan apa. Saya tidak begitu suka dengan yang namanya belajar. Walau orang-orang pikir saya ini anak yang rajin, sesungguhnya saya jauh dari orang yang pikirkan. Saya tidak pintar. Yang saya suka dari dulu hanyalah memasak karena Kak Kalina pernah mengajarkan saya. Kala itu, hanya memasak biasa, ala rumahan. Tapi ternyata, rasanya seru sekali dan menyenangkan hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Will He
General Fiction[Completed] Kata orang, cinta pertama itu hanya omong kosong. Tapi kalau kata saya, kita enggak tahu kalau enggak dicoba, kan? Begitu pula dengan cerita cinta pertama saya tentangnya, tentang seseorang bernama Arga Anggara yang dengan penuh harap s...