10

1.1K 170 9
                                    

Kayla

Sebenarnya, semenjak percakapan mengenai perjodohan saya dan Kak Arga itu terjadi, saya tidak banyak bicara dengan Ayah dan juga Bunda. Saya lebih banyak menghabiskan waktu bermain bersama Nana dan juga mengobrol dengan Kak Kalina dan Mas Farhan. Dari pagi hingga malam, Kak Kalina berusaha membujuk saya untuk membicarakan masalah ini kembali dengan Ayah dan Bunda. Tapi saya menolak. Buat apa? Toh saya yakin, Ayah akan tetap keras kepala.

Saya menghentikan langkah ketika sudah menjauhi mobil Kak Arga dan menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa Kak Arga sudah benar-benar pergi. Kak Arga memang sudah tak kelihatan lagi di tempat ia memarkirkan mobilnya tadi.

Siang ini, Kak Arga terlihat menyeramkan. Tidak seramah saat saya secara resmi berkenalan dengannya—saat ia menawarkan saya untuk ikut masuk ke dalam rumah hari itu. Jujur, saya sedikit takut. Saya tahu ia sedang meredam amarahnya dan kekecewaan terhadap Om Pandu. Tapi saya juga tahu, Kak Arga sedang melampiaskan itu semua kepada saya.

Ah, sudahlah. Saya teringat dengan janji saya kepada Dina tadi sebelum ikut dengan Kak Arga. Saya yakin dia sudah berasumsi yang macam-macam.

-ooo-

"Hah?! Apa?! Lo dijodohin sama Kak Arga?!"

Saya harusnya tidak perlu kaget saat Dina memberikan reaksi yang demikian karena saya sudah menduga ia akan bereaksi seperti ini. Tapi tetap saja, teriakan Dina yang nyaring membuat saya harus menutup telinga.

"Enggak—gue enggak ngerti, coba lo ulangi lagi, Kay? Gimana?" ujar Dina sambil mendekatkan dirinya kepada saya.

Saya menghela napas dan kembali mengulangi perkataan saya, "Din, gue dijodohin sama Kak Arga. Ayah sama Papanya Kak Arga itu sahabatan sejak sekolah."

"Gila!" celetuk Dina dan bersandar pada sandaran ranjangnya. "Ayah lo bener-bener ya, Kay. Gue sampai speechless."

"Lo aja sampai speechless, apalagi gue, Din."

"Terus? Lo enggak mau, kan?" tanya Dina lagi.

Saya mengangguk. "Ya iya, Din. Gue masih sekolah dan—gue enggak mungkin nikah sama cowok yang enggak sayang sama gue."

"Kak Arga udah punya cewek kan?"

"Iya, namanya Kak Vina. Gue udah kenal."

Dina tampak berpikir sejenak sambil memperhatikan saya. Entahlah, saya tidak bisa menebak apa yang sedang ia pikirkan. Hanya saja, pandangan yang Dina berikan itu adalah pandangan simpatik—bahwa ia kasihan dengan kondisi saya yang seperti ini. Sama, Din. Saya pun, kasihan dengan diri sendiri.

"Lo bener-bener naksir Kak Arga ya, Kay?"

Saya membatu seketika setelah mendengar pertanyaan Dina. Lidah saya tiba-tiba terasa kelu dan kesulitan untuk menjawab pertanyaan itu. Saat mendengar perkataan Kak Kelvin, saya pun kembali berpikir ulang. Apa perasaan yang saya rasakan kepada Kak Arga itu benar adanya? Atau hanyalah sebuah asumsi belaka yang saya tanamkan sendiri.

Saya mendongak begitu mendengar helaan napas kecil yang keluar dari mulut Dina. Ia pun terlihat tidak mengerti dengan apa yang saya rasakan atau mungkin—lebih tidak mengerti dengan jalan pikiran saya. Saya mengulum senyum kecil.

"Din, kemarin.. gue jalan sama Saka." tutur saya lagi membuat bola mata kecoklatan milik Dina hampir meloncat dari tempatnya.

"Kay, astaga, gue capek teriak." balas Dina dan membuat saya kembali tersenyum lalu terkekeh pelan. "Gimana ceritanya?"

"Waktu gue berantem sama Kak Kelvin, gue pergi dan tiba-tiba nyampe di deket warung tempat mereka biasa nongkrong,"

"Bu Surti?"

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang