47

1.5K 189 42
                                    

Jakarta, Juni 2020

Arga

Waktu awal menikah dengan Kayla, gue malas banget untuk pulang ke rumah. Saat itu, takut membuat Kayla enggak nyaman dengan diamnya gue saat di rumah aja. Selama beberapa bulan terakhir, banyak banget yang terjadi di antara gue dan Kayla. Mulai dari gue yang dingin, enggak terbuka, sampai ke gue yang akhirnya udah mulai ketawa lagi dan lebih banyak ngobrol sama dia. Sampai ke gue dan Kayla, yang sekarang benar-benar sudah terlihat seperti pasangan yang normal.

Enggak ada lagi gue yang pulang telat, enggak ada lagi gue yang tidur di kamar tamu, dan enggak ada lagi pertanyaan-pertanyaan seputar kenapa Kayla mau bertahan dengan lelaki seperti gue. Gue belajar banyak hal dari pernikahan gue dan Kayla. Dan Kayla lah yang mengajarkan gue itu semua.

Gue enggak akan pernah melupakan kejadian di Bali—yang menurut gue menjadi titik awal kesadaran gue. Titik di mana gue benar-benar yakin bahwa gue jatuh cinta sama Kayla, bahwa gue menyayangi Kayla, bahwa gue... Enggak boleh menyia-nyiakan sosok perempuan seperti Kayla.

Bali, titik di mana gue dan Kayla saling membuka diri dan untuk pertama kalinya merasakan cinta yang sesungguhnya.

Beberapa bulan berlalu, gue pulang-pulang dari Bali membawa kabar baik bahwa Kayla sedang mengandung anak gue. Walau sepulang dari Bali sempat ada drama sedikit, tapi untungnya, gue bisa menyelesaikan itu dengan baik.

Dan sekarang, gue cuma mau bahagiain Kayla dan calon anak kami. Gue mau menjaga dan menyayangi Kayla sepenuh hati untuk menggantikan kesalahan-kesalahan gue di masa lalu.

"Guys, guys,"

Gue mendongakkan wajah ketika Wira tiba-tiba mengangkat tangannya dari keyboard dan tangan kirinya menatap handphone-nya.

"Apaan?" tanya Riyan tanpa melepaskan pandangannya dari buku kecil berwarna navy yang selalu ia bawa kemana-mana meski ia telah putus dengan si pemberi buku itu.

"Gue harus fitting nih. Acha udah ngomel-ngomel." Wira terkekeh. Memang sih, Wira sama Acha itu akhir-akhir ini suka ribut karena masalah pernikahan mereka yang bakalan di-adakan bulan depan.

"Oh ya udah," kata gue sambil meletakkan gitar kepada tempatnya. "Kita udahan aja. Daripada berantem lagi ntar."

Juan yang sejak tadi hanya duduk dan mendengarkan tiba-tiba tertawa. "Iya, ya. Gue enggak mau lagi deh jadi tempat ngadunya Acha."

"Acha tuh kalau ada masalah sama Wira kenapa enggak pernah curhat sama gue ya." kata Riyan.

"Ya iyalah. Habisnya lo kan galak, Bang. Bisa-bisa Bang Wira dimarahin abis-abisan." timpal Fares yang langsung gue, Juan, dan Wira tanggapi dengan tertawaan. Karena apa yang Fares ucapkan itu memang benar.

Riyan tiba-tiba menghela napasnya. "Kasihan banget nih gue, nikahan Wira sama Acha, enggak ada gandengan."

"Lah, kan gue juga, Bang."

Riyan langsung mendelik kepada Fares yang barusan ngomong. "Jangan bacot lo, Res. Lo pasti pergi sama Athalia, kan?"

Fares hanya menyengir, lalu mengalihkan pandangannya dari kita berempat. Setelah mengakhiri hubungan dengan Calista, Fares dekat dengan seorang cewek bernama Athalia—yang wataknya jauh berbeda dari Calista. Meski gue masih sedih karena berakhirnya hubungan mereka, tapi, gue enggak bisa berbuat apa-apa.

Gue kemudian beranjak dari kursi untuk beres-beres mau pulang. "Udah, udah, yuk, balik! Gue kangen bini, nih!" ucap gue setengah tertawa dan sukses membuat Riyan melemparkan pulpennya ke arah gue.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang