23

938 174 31
                                    

Arga

Gue enggak tahu apa yang membawa gue ke sini. Ke rumahnya Kayla pukul satu pagi. Gue pasti udah gila. Karena udah jelas Kayla udah tidur. Awalnya, gue ingin pulang, tapi sebuah pesan singkat dari Sarah langsung membuat gue datang ke sini. Gue kaget banget waktu Sarah kirimin screenshotan direct message-nya Vina ke Kayla.

Gue memejamkan mata sejenak dan menyandarkan dahi kepada setir mobil. Asli. Selama hidup, enggak pernah gue semalu ini sama seseorang. Apa yang udah Vina ucapkan ke Kayla lewat DM di Instagram itu udah sangat keterlaluan. Gue jadi mengingat lagi kejadian di rumah Sarah tadi. Saat gue yang baru saja selesai teleponan sama nyokap, balik ke kamar Sarah hanya buat dilemparin pake bantal sama Vina.

"Kamu tuh gila ya, Ga!"

Gue enggak ngerti sama suasana hati Vina yang suka mendadak berubah. Tapi saat itu, gue jauh lebih enggak ngerti. Beberapa menit lalu, kita masih pelukan, udah memaafkan satu sama lain. Dan menit berikutnya, dia marah-marah lagi ke gue.

"Apa..."

"Ngapain kamu antarin cewek itu?!"

Cewek itu. Jelas gue langsung paham maksudnya Vina. Siapa lagi kalau bukan Kayla yang gue antar ke rumah sakit tadi? Dan siapa yang berani cepuin ini ke Vina?

"Kamu denger dari siapa?"

"Enggak penting aku denger dari siapa!" Vina berteriak lagi. Cukup keras sampai membuat Ben dan Sarah yang lagi santai di bawah, langsung berlari ke atas. "Kamu masih ketemu sama dia? Iya??!"

"Denger dulu, Vin—"

"Cewek itu enggak sebaik yang kamu pikir! Dia itu fake, dia itu—"

"Cukup, Vin!"

Enggak cuma Vina, tapi Ben, Sarah, bahkan gue sendiri, kaget karena teriakan gue kepada Vina. Gue pengin mempertahankan hubungan gue sama Vina. Gue pengin memperjuangkan dia ke Papa dan Mama. Tapi, Apa? Vina enggak pernah mau belajar dari kesalahannya. Enggak pernah mau berubah dan selalu minta gue jangan tinggalin dia. Jujur aja, gue capek.

"Kamu mau sampai kapan kayak gini? Mau sampai kapan? Kamu ada niat untuk berubah enggak sih? Papanya sakit. Dan aku kebetulan lewat di sana, enggak sengaja ketemu. Terus, aku harus diem aja lihat dia nangis kayak gitu? Terlebih, aku kenal sama yang sakit?"

Vina awalnya cuma diam. Cukup lama sampai ketika dia ngejawab, gue enggak menyangka sama jawaban yang dia berikan ke gue. Dan saat itu juga, gue kecewa.

"Iya. Harusnya, kamu diem aja."

Gue rasa, kesabaran gue pun udah mulai mencapai batasnya.

"Bener," kata gue. "Sama. Aku juga kayaknya, enggak bisa lagi maklum semua perbuatan kamu."

"Arga!" seru Sarah.

"Bro, you didn't mean it." ujar Ben yang menahan tubuh gue agar enggak meninggalkan kamar Sarah.

Gue terdiam sejenak. Gue enggak tahu sama apa yang gue udah katakan. Tapi, gue capek. Capek banget sama semua drama yang Vina lakukan. Mom was right. Enggak ada orang yang bisa berubah secepat itu dan Vina menunjukkan itu semua kepada gue. Gue udah capek memanjakan Vina.

Gue perlahan menurunkan tangan Ben. "I'm tired, Ben. You know how tired I am."

"Arga!"

Sebelum gue benar-benar melangkahkan kaki ke luar dari kamar Sarah. Vina kembali meneriaki nama gue. Ketika gue pikir, Vina bakalan nangis, lalu memohon sama gue untuk kembali. Ternyata, enggak.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang