29

924 161 17
                                    

Kayla

"Dia itu kenapa sih?! Kayak orang gila aja!"

Saya sudah tidak tahu bagaimana cara menenangkan Kak Kelvin yang sudah marah-marah sejak kami meninggalkan rumah Kak Arga. Saya sebenarnya tahu kalau Kak Arga butuh tempat pelampiasan. Walau saya tidak tahu dia ada masalah apa, yang jelas, saya bisa maklum saat ia tiba-tiba memarahi saya.

Hanya saja, timing saat ia menjadikan saya pelampiasan itu sangat tidak tepat karena ia justru melakukan itu di depan Kak Kelvin, orang yang akan membela saya atas apa pun yang terjadi. Bahkan jika saya yang salah pun, Kak Kelvin akan tetap membela saya mati-matian.

"Udah, Kel. Kamu juga dari tadi marah-marah terus."

"Bunda enggak lihat gimana dia marahin Kayla! Kata-katanya kasar. Emang siapa yang mau nikah sama dia?!"

Seperti yang saya duga, Kak Kelvin mendengar pecakapan kami dari awal. Saya hanya bisa menghela napas pasrah. Kalau sudah marah, Kak Kelvin itu susah sekali untuk ditenangkan. Pawangnya itu cuma Kak Agin. Karena Kak Agin kalau sudah marah, jauh lebih seram daripada Kak Kelvin dan Ayah.

Bunda tiba-tiba menengok ke belakang, menatap saya. "Emang Arga kenapa, Kay? Kok tiba-tiba marah gitu? Dan hujan-hujanan?"

Saya terdiam beberapa detik sebelum akhirnya membalas pertanyaan Bunda. "Kayaknya ada masalah, Bun, sama temen-temennya. Aku juga enggak tahu pasti."

"Ah bodoh amat!" seru Kak Kelvin tiba-tiba sambil memukul setir mobilnya. "Mau ada masalah kek apa kek, enggak bisa dibenarkan juga dia jadiin kamu pelampiasan!"

"Aduh, Kel, kamu ini bisa-bisa kayak Ayah nanti kalau udah tua. Suka darah tinggi."

Saya tersenyum kecil mendengar bagaimana Bunda berusaha keras menenangkan Kak Kelvin dengan santai. Mungkin karena Bunda sudah terbiasa menghadapi Ayah, jadi Bunda tahu bagaimana menenangkan Kak Kelvin yang marah-marah. Namanya juga ayah dan anak, mustahil sifatnya tidak turun ke salah satu anaknya kan?

"Awas aja ya kalau kamu deket-deket dia lagi, Dek. Kakak enggak suka. Cari cowok yang lain aja!"

"Ih, siapa juga yang mau jadiin dia cowokku..."

"Eh, Kay, Bunda jadi keinget sama temen kamu yang dulu suka ke rumah. Siapa tuh namanya? Yang mau jadi dokter?"

Saya terperangah mendengar ucapan Bunda. Kok tiba-tiba Bunda jadi membahas Saka sih?

"Saka maksud Bunda?"

"Nah, iya, Saka!" Bunda menoleh lagi ke belakang untuk menatap saya. "Kamu udah enggak deket lagi sama dia?"

Saya hanya menggeleng pelan. Kalau ditanya seperti itu, saya suka bingung harus menjawab apa. Tapi sepertinya, saya dan Saka sudah menjadi orang asing karena sudah tidak pernah bertegur sapa lagi.

"Udah. Enggak usah pacar-pacaran kamu! Nanti aja kalau kamu udah dapet kerja, langsung nikah." ujar Kak Kelvin tiba-tiba membuat saya mengernyitkan dahi.

Tapi tidak seperti saya yang kesal, Bunda malah tertawa mendengar ucapan Kak Kelvin. "Omonganmu kayak bapak-bapak deh, Kel. Besok kalau nikah, jangan punya anak cewek deh. Kasihan anak kamu."

"Apaan sih, Bunda."

Saya terkekeh pelan. Tapi kekehan kecil saya itu tidak berlangsung lama. Karena detik berikutnya, saya malah teringat dengan Kak Arga tadi. Entah kenapa, Kak Arga terlihat hancur. Sorot matanya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Saya kemudian mengeluarkan handphone dari dalam tas dan mata saya membulat ketika melihat sebuah notifikasi di Instagram dari Kak Arga.

'"Maaf, Kay."

Sebuah pesan singkat yang Kak Arga kirimkan, membuat hati saya mencelos—walau setengah hatinya saya merasa lega. Tetapi pesan singkat itu malah membuat saya semakin bertanya-tanya dengan apa yang terjadi kepadanya. Ia terlihat rapuh.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang