Ben memejamkan matanya saat lagi-lagi ia mendengar nada sumbang keluar dari gitar yang Arga mainkan. Bukan hanya itu saja, alunan lagu yang mereka mainkan dari alat musik masing-masing terdengar kacau dan tidak sesuai dengan ritmenya. Ben menghentikan permainan jarinya pada bass lalu memutar tubuhnya dari tempat duduk dan menatap Arga—yang tidak sepenuhnya sadar akan kesalahannya sendiri.
"Stop, stop."
Atas ucapan Ben, ketiga temannya itu langsung menghentikan permainan mereka dan menatap Ben dengan serempak. Ben menghela napasnya dan tatapannya lebih ditujukan kepada Arga. Sudah beberapa minggu latihan, Arga tampak tidak fokus. Siapa pun yang melihatnya pasti sadar bahwa lelaki itu sedang ada masalah. Terlebih lagi, ketidakhadiran Vina di setiap latihan mereka mengundang banyak tanya.
"Ga, lo ada masalah apa?" tanya Ben setelah meletakkan bass nya ke atas kursi dan menghampiri Arga yang duduk di belakangnya.
Arga terdiam sesaat lalu ikut menyandarkan gitarnya dengan hati-hati pada dinding dan menghela napas panjang.
"Lo berantem sama Vina?" tanya Manuel dari tempatnya duduk.
Cetta hanya menatap teman-temannya bergantian dan juga Arga yang belum mengucapkan sepatah kata pun.
"Kita enggak tahu lo ada masalah apa sama Vina. Tapi dua hari lagi kita mau gigs loh, Ga. Dan lo tahu ini kesempatan emas buat kita. Bukan cuma gigs biasa anak sekolahan atau kampus." ujar Ben lagi.
"Sorry," gumam Arga dan mendongakkan wajahnya untuk menatap teman-temannya. "Gue bakalan fokus."
Ben mengangguk-anggukkan kepalanya tapi menatap Arga dengan tatapan yang kurang yakin. "Oke. Jangan pernah gabungin masalah personal ke dalam kerjaan. Inget sama komitmen kita ya."
Arga mengangguk dan menipiskan senyumnya. "Sorry guys. Thanks, Ben."
Ben mengangguk lagi. "Kita istirahat dulu deh yuk? Gue pesen kopi deh."
"Nah gitu dong." Cetta menyengir, seolah sedang menunggu kalimat itu muncul dari salah satu temannya.
Arga melirik sekilas ke arah Ben yang berjalan keluar studio disusul oleh Cetta. Hanya dirinya dan Manuel yang tersisa di dalam sana.
"Gue kemarin ketemu Vina di Reville."
Arga tertegun begitu mendengar ucapan Manuel dan menoleh ke arah lelaki itu. Manuel tersenyum kecil. "She's drunk."
"Dia sama siapa?" tanya Arga.
Manuel menggelengkan kepalanya, "Gue enggak tahu dia di sana sama siapa. Gue coba tanya tapi dia cuma ngelantur. Akhirnya, gue antar dia ke rumah Sarah. I guess, Sarah enggak ada ngasih tahu Ben ataupun lo."
Arga terdiam lagi sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali Vina datang ke tempat seperti itu. Kondisi keluarga Vina yang rumit selalu memaksanya untuk menjadikan Reville sebagai salah satu tempatnya melampiaskan kekesalan.
Setahun belakangan ini, Vina sudah mulai agak sembuh. Ia tak lagi menjadikan tempat itu sebagai pelariannya. Karena kala itu, Arga berkata bahwa Vina boleh menjadikan ia sebagai tempat itu. Tempat di mana Vina bisa bersembunyi atau bahkan merepotkan Arga seumur hidupnya. Tapi sekarang, Arga tak lagi jadi tempat Vina untuk bersembunyi melainkan alasan Vina kembali datang ke tempat itu.
"Lo berantem sama Vina atau bokapnya lagi-lagi mukulin Vina?"
Arga menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Manuel. "Gue. Gue penyebabnya, El."
"Something happened?"
"Gue harusnya enggak bilang Vina." ujar Arga pelan, membuat Manuel semakin mengerutkan dahinya karena kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Will He
General Fiction[Completed] Kata orang, cinta pertama itu hanya omong kosong. Tapi kalau kata saya, kita enggak tahu kalau enggak dicoba, kan? Begitu pula dengan cerita cinta pertama saya tentangnya, tentang seseorang bernama Arga Anggara yang dengan penuh harap s...