14

988 162 23
                                    

Desember, 2014

Kayla

Sudah tiga bulan sejak terakhir saya mendengar Ayah membicarakan tentang perjodohan dengan Kak Arga. Dalam kurun waktu itu, Ayah tak hentinya mencari cara untuk mengajak saya supaya bisa bertemu dengan Kak Arga. Walaupun saya ingin, tapi saya tahu Kak Arga tidak akan pernah menginginkan hal itu. Lagipula, saya sudah berjanji dengan Kak Vina—walau tidak bisa dibilang benar-benar suatu perjanjian, sih.

Saya terus menolak. Hingga akhirnya Ayah menyerah dan mengalah—tapi saya tidak tahu apa itu membuatnya berubah pikiran atau tidak. Kata Kak Kalina, sifat Ayah itu ada menurun di saya. Yaitu sifatnya yang tidak bisa ditebak jalan pikirannya.

Tidak ada yang tahu apa yang Ayah rencanakan dan pikirkan. Karena sehari-harinya, Ayah tetap mengajak saya mengobrol seolah tidak ada yang terjadi di antara kami. Bahkan saat Kak Kelvin datang bertamu, Ayah sesekali mengajak mengobrol Kak Kelvin walau sedikit-sedikit tetap saja membahas sekolah kedinasan.

Lalu, ada satu hal lagi yang membuat Ayah uring-uringan.

"Mbak Kayla, temennya udah jemput." Itu suara Pak Ujang, supir yang bekerja untuk Ayah.

Saya yang sejak tadi menunggu di ruang tamu pun langsung bangkit berdiri dan bergegas menghampiri teman saya ini agar ia tak lama menunggu. Senyumnya merekah saat melihat saya keluar dari rumah dan berlari kecil untuk menghampirinya yang menunggu di luar pagar.

"Lama?"

Saka menggeleng sambil menyerahkan helm kepada saya. "Enggak kok."

Saya balas tersenyum dan bersiap-siap untuk naik ke belakangnya. Tapi sebelum saya melakukan itu, Senyum Saka mendadak pudar dan ia menjadi kaku. Ia menatap lurus ke arah rumah dan sedikit menundukkan kepalanya sebagai pengganti salam. Mau tak mau, saya ikut menoleh dan oh, itu hanya Ayah—yang selalu seperti itu setiap Saka mulai rajin menjemput saya untuk berangkat sekolah.

Kalau kalian bertanya-tanya, apa saya sedang berpacaran dengan Saka—jawabannya tentu tidak. Saya bahkan tidak yakin dengan perasaan saya sendiri. Tapi, Saya senang bercerita kepada Saka. Saya bahkan belajar bersama Saka. Dan saya merasa tidak canggung untuk menceritakan apa pun kepada Saka. Bayu bahkan sempat merasa jengkel karena saya sekarang lebih akrab dengan Saka. Katanya, saya merebut Saka darinya.

"Yuk, Ka."

Saka menganggukkan kepalanya dan membiarkan saya bersiap-siap di belakang sana. Setelah ia memakai helm, ia membunyikan klakson sebagai tanda pamit kepada Ayah yang masih memasang tampang galak di depan rumah.

"Masih takut sama Ayah?" teriak saya saat Saka sudah mengendarai motornya.

"Takut. Ayah kamu serem."

Saya hanya tertawa atas jawaban Saka. Biarlah seperti ini. Saya hanya akan mengikuti alurnya waktu saja.

-ooo-

"Ka, Ka, coba pelan-pelan dong jelasinnya. Gue enggak ngerti, gue goblok."

Saya tersenyum miring mendengar perkataan Dina. Teman saya itu sekarang sedang menggaruk-garuk kepalanya yang entah benar-benar gatal atau tidak.

Sekarang ini, saya sedang ada di kafe—tempat saya bertemu dengan Kak Vina waktu itu bersama Dina, Bayu dan Saka. Sepulang sekolah tadi, kami memutuskan untuk mampir kemari dan belajar bersama.

Saka itu pintar sekali. Dia juara umum di sekolah. Walau Saka sering kali nongkrong bersama Bayu dan teman-temannya, tapi Saka selalu menyempatkan waktu untuk belajar. Dan seiring berjalannya waktu, saya jadi tahu bahwa perkataan Bayu kala itu benar. Saka sesekali mengajarinya di warung Bu Surti.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang