33

940 156 5
                                    

Kayla

Saya sedang merasa gugup, bingung, dan agak sedikit takut. Sudah lima belas menit sepertinya saya duduk menundukkan kepala di sebuah kafe yang dekat dengan tempat kursus. Tadinya, saya memang berencana duduk di sini dan bercerita dengan Kak Kala. Tapi melihat kehadiran dirinya, Kak Kala jadi enggan untuk mengganggu dan memutuskan untuk pulang saja.

Saya semakin mengeratkan genggaman saya pada ujung baju yang saya kenakan. Sudah lima belas menit dan orang yang ada di hadapan saya juga tidak mengatakan apapun. Saya berkali-kali melirik ke arahnya—yang untungnya tidak disadari olehnya. Dia juga berusaha menghindari tatapan saya dan lebih memilih untuk memperhatikan keluar jendela.

"Ini minumannya. Selamat menikmati." Suara pelayan kafe yang baru saja datang mengantarkan pesanan kami berdua, membuat saya sedikit menghela napas. Karena dengan kehadirannya yang super singkat itu, suasana di antara saya dan Kak Vina sedikit melunak.

Saya dan Kak Vina sama-sama mengucapkan terima kasih kepada sang pelayan sampai pada akhirnya pelayan itu pergi dan menyisakan kami berdua. Saat itulah, saya mencoba untuk mengulum senyum sebaik mungkin dan berharap senyum saya tidak kelihatan aneh.

"Apa kabar, Kayla?"

Saya mengerjapkan mata beberapa kali ketika pada akhirnya, Kak Vina lah yang membuka percakapan lebih dulu. Selain itu, nada suaranya sangat berubah. Ia menjadi lebih lembut dari sebelum-sebelumnya. Lalu, surainya juga tak lagi panjang seperti kami terakhir bertemu. Kak Vina memotong rambutnya dan membuatnya jadi terlihat lebih dewasa.

"Baik. Kak Vina?"

Kak Vina mengulum senyum lalu terkekeh pelan. "Baik juga. Kita canggung banget ya, Kay?"

Saya hanya tertawa kecil. Rasanya, akan semakin aneh kalau saya malah mengiakan ucapannya secara langsung.

"Aku mau minta maaf sama kamu, Kayla."

Saya termangu. Bukan karena Kak Vina yang mau meminta maaf kepada saya. Tetapi karena caranya berbicara pun jadi berubah. Sebenarnya, apa yang sudah terjadi selama satu bulan belakang ini? Dan apakah ini ada hubungannya juga dengan Kak Arga dan Kak Cetta?

"Aku udah keterlaluan banget sama kamu. Waktu itu, aku di luar kendali, Kay. Padahal, kamu enggak salah sama sekali..." Kak Vina menggantungkan ucapannya sejenak. "Aku salah dan aku enggak berharap kamu maafin juga. Aku cuma pengin lega dan pergi tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Terutama sama kamu."

"Kak Vina emang mau kemana?"

"Aku mau pindah ke kampung halaman mamaku, Kay." Kak Vina tersenyum. "Selama beberapa bulan terakhir, banyak yang udah terjadi sama aku dan itu juga malah nyeret-nyeret kamu. Bahkan Cetta sampai nemuin kamu buat ngomong yang enggak-enggak. Dan aku juga denger Arga malah bantuin kamu."

"Eh, tapi, Kak, aku enggak ada hubungan apa-apa sama Kak Arga. Sumpah. Kak Vina jangan—"

Alih-alih marah, Kak Vina malah tertawa kecil dan membuat saya semakin kebingungan. "Aku sama Arga udah selesai, Kay. Aku sama dia enggak bakalan bisa balik lagi. Aku udah ngelakuin hal yang jahat sama dia. Arga enggak bakalan mau nerima aku lagi. Tapi... aku udah enggak apa-apa. Aku sadar, duniaku bukan cuma Arga. Sekarang aku mau fokus sama hal yang lain. Bukan ngekang Arga lagi."

Saya terdiam mendengar ucapan Kak Vina. Mereka putus, apakah itu salah saya? Awal mereka bertengkar hebat itu karena saya—karena perjodohan saya dan Kak Arga. Apakah semuanya karena itu?

Tetapi sepertinya Kak Vina menyadari kekhawatiran saya dan mungkin dia juga tahu apa yang saya pikirkan. Dan lagi-lagi, ia berusaha menenangkan saya, bahwa apa yang terjadi bukan salah saya.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang