37

930 156 10
                                    

Kayla

Semua terjadi begitu cepat. Tangan saya tidak berhenti bergetar saat melihat Ayah kesulitan bernapas sembari memegangi dadanya. Bahkan, saat Ayah dilarikan ke UGD pun, saya hanya memandangi dengan pandangan kosong. Saya tidak tahu, kalau kondisi Ayah sudah tidak sesehat yang sebelumnya.

Saya tersentak saat melihat Kak Kelvin terduduk di lantai dengan mengacak rambutnya frutasi. Melihat Kak Kelvin seperti itu, saya langsung berjongkok di sebelahnya dan berusaha menenangkannya.

Kak Kelvin merasa, bahwa semua ini salahnya.

"Kak..."

"Ini salah aku," gumam Kak Kelvin pelan. "Salah aku... Ayah pingsan... Ayah kayak gitu..."

"Enggak, Kel. Enggak." Bunda yang sejak tadi berdiri di dekat pintu UGD kemudian menghampiri saya dan Kak Kelvin. Bunda menatap Kak Kelvin lekat. "Bukan salah Kelvin. Jangan nyalahin diri sendiri ya."

"Tapi, Bunda..."

Bunda menggeleng, berusaha untuk meyakinkan Kak Kelvin. "Bukan. Kelvin jangan salahin diri sendiri. Ayah emang enggak sehat, udah lama. Jadi ini bukan salah siapa-siapa."

Kak Kelvin tidak menjawab. Perkataan Bunda barusan sepertinya tidak menenangkan hatinya. Kak Kelvin menunduk, memperlihatkan betapa menyesalnya ia bertengkar dengan Ayah malam ini. Saya menghela napas dan duduk di sebelahnya lalu mengambil tangan Kak Kelvin dan menggenggamnya erat.

"Ayah kuat. Ayah enggak bakalan kenapa-napa." pesan Bunda sambil tersenyum tipis dan ikut menunggu Ayah yang masih diperiksa di dalam sana.

-ooo-

Pukul satu dini hari, Ayah akhirnya dipindahkan ke ruangan, namun masih belum sadarkan diri. Bunda kemudian menyuruh saya dan Kak Kelvin pulang dan istirahat di rumah, lalu besok pagi datang lagi dengan membawa barang-barang Ayah dan juga Bunda.

Walau berat meninggalkan Ayah dan Bunda, tapi saya dan Kak Kelvin akhirnya menuruti permintaan Bunda dan istirahat di rumah. Kak Kelvin juga tidak pulang ke kosannya. Ia tidur di ruang televisi dengan keadaan televisi yang menyala. Saat bangun di pagi hari, saya melihat Kak Kelvin masih tertidur lelap. Sepertinya, ia tidak bisa tidur setelah pulang dari rumah sakit.

Saya kemudian masuk ke kamar Ayah dan Bunda untuk menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ke rumah sakit. Saat sedang di kamar, handphone saya berbunyi. Ternyata, Kak Kalina yang menelepon.

"Halo?"

"Kayla, kamu di mana?"

"Masih di rumah. Lagi siapin pakaian Ayah sama Bunda."

Kak Kalina terdiam untuk beberapa saat. Suaranya terdengar serak. Sepertinya ia juga cukup kaget mendengar kabar Ayah yang pingsan.

"Ayah udah sadar?"

Kali ini, gantian saya yang terdiam. Kemudian saya menggeleng pelan, walau Kak Kalina tidak bisa melihat hal itu.

"Belum... Bunda belum ada nelepon."

"Kelvin mana?"

"Masih tidur."

"Ya udah... Kakak bakalan jalan ke sana siang ini, sama Mas Farhan. Kalian baik-baik ya."

"Iya, Kak."

"Kakak tutup."

Saya menghela napas dan meletakkan handphone saya ke meja lalu kembali menyusun pakaian Ayah dan Bunda.

Sebenarnya, ketika melihat Kak Kelvin menyalahkan dirinya, di sudut hati saya yang paling dalam, saya juga sama. Saya juga menyalahkan diri sendiri. Semua itu tidak akan terjadi kalau saya menurut dan tidak berusaha menolak kemauan Ayah.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang