Kayla
Saat melihat Kak Kalina menikah dulu, saya selalu bertanya-tanya, apa sih rasanya menikah? Awalnya, saya tidak berani bertanya karena menurut saya itu merupakan topik yang sensitif untuk ditanyakan. Tetapi kemudian, saya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran saya dan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada Kak Kalina.
"Kay, menikah itu memang menyenangkan, tapi namanya juga hidup, enggak selamanya menyenangkan, Kayla. Karena nantinya, bakalan ada kehidupan lain yang akan kamu jaga, bukan cuma diri kamu atau suami kamu kelak, tapi anak. Semuanya akan kamu pertaruhkan untuk anak." ucap Kak Kalina kala itu dan membuat saya termenung untuk waktu yang lama.
Mendengar ucapan Kak Kalina, saya langsung takut untuk menjadi orang dewasa. Saya jadi takut untuk tumbuh dan ingin menghabiskan waktu sebagai anak-anak saja. Saya pikir, selamanya saya akan berpikir demikian.
Tapi, waktu terus berjalan. Hari silih berganti, detik berganti menjadi jam, dan tanpa sadar, kita tumbuh dewasa dan tak lagi anak kecil yang hanya memikirkan ingin membeli mainan apa.
Hari ini, melihat saya mengenakan kebaya berwarna putih dan henna yang memenuhi kedua tangan saya, saya sekali lagi tersadar bahwa saya bukan anak-anak lagi. Saya bukan lagi anak bungsu yang apa-apa selalu ditentukan oleh orang tua. Setelah ini, hidup saya akan berubah seratus persen.
"Saya terima nikah dan kawinnya Kayla Gesita Andira binti Ridwan Andira Hakim dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Hanya dengan satu kali tarikan napas dan saya menitikkan air mata tepat setelah para saksi mengucapkan kata, "Sah".
Saya terus menunduk, tidak ingin menunjukkan air mata itu kepada orang-orang. Saya bahkan tidak tahu kenapa saya menangis. Apakah karena saya lega, atau takut? Ketika saya sibuk memikirkan hal-hal tidak penting itu, seseorang menempelkan tangannya di atas tangan saya. Saya menoleh, mendapati bahwa ternyata tangan Kak Arga lah yang sedang berusaha untuk menenangkan saya.
Apa maksudnya?
-ooo-
Saya menghembuskan napas sambil membiarkan Kak Agin menghapus make up yang tersisa pada wajah saya. Setelah acara akad selesai, satu jam berikutnya saya langsung mengganti pakaian untuk acara resepsi. Sungguh, saya tidak tahu bahwa menikah akan selelah itu.
Dan sekarang, tepat pukul tujuh malam di saat semua acara telah rampung, Kak Agin membantu saya untuk menanggalkan pakaian-pakaian dan juga pernak-perniknya serta riasan di wajah saya.
"Capek ya, Kay?" tanya Kak Agin.
Saya terkekeh pelan. "Ternyata capek ya, Kak, acara kayak gini."
"Iya," balas Kak Agin sambil membuang kapas ke dalam tempat sampah lalu menatap saya lagi. "Aku aja kalau nanti nikah, enggak mau deh, duduk berdiri kayak gitu. Capek banget."
"Loh, jadi maunya gimana, Kak?"
"Aku jalan-jalan, nyamperin para tamu undangan." Kak Agin tertawa dan membuat saya ikut tertawa juga.
"Emang boleh kayak gitu?"
"Bolehlah, kan aku yang nikah." balas Kak Agin lagi.
"Kak, maaf ya, aku malah langkahin Kak Agin sama Kak Kelvin."
Mendengar ucapan saya, Kak Agin menghentikan tangannya yang sibuk mengusap riasan wajah saya menggunakan kapas dan menatap saya lekat. "Hei, aku mah sama Kelvin emang enggak cocok nikah sekarang. Kita ngumpulin uang dulu yang banyak."
Saya tertawa lagi. Mengobrol dengan Kak Agin memang selalu semenyenangkan itu. "Tapi aku seneng, itu tandanya Kak Agin beneran mau nikahnya sama Kak Kelvin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Will He
General Fiction[Completed] Kata orang, cinta pertama itu hanya omong kosong. Tapi kalau kata saya, kita enggak tahu kalau enggak dicoba, kan? Begitu pula dengan cerita cinta pertama saya tentangnya, tentang seseorang bernama Arga Anggara yang dengan penuh harap s...