September, 2014
Kayla
"Baik. Ayah enggak bakalan ngomongin soal itu sekarang sama Kayla. Atau malah maksa Kayla."
Saya pikir, Ayah akan menepati perkataannya sebulan yang lalu—saat Kak Kelvin dan juga Kak Kalina mencoba membujuk Ayah untuk tidak memaksakan kehendaknya kepada saya. Tapi ternyata, tidak juga. Buktinya, saya malah diajak ke acara pernikahan sepupu Kak Arga dan membuat saya harus bertemu lagi dengan Kak Arga.
Belum lagi, tiba-tiba saya malah ditinggalkan berdua bersama Kak Arga di meja ini, sementara yang lain pergi mengambil makanan. Saya yakin, ini sangat disengaja oleh Ayah dan juga Om Pandu. Saya tidak berani menatap Kak Arga. Sejak tadi, Kak Arga hanya diam sambil memainkan ponselnya.
"Apa kabar, Kay?"
Saya langsung menatap Kak Arga—yang tengah menatap saya lurus. Saya terdiam dan merasa bingung karena ia mendadak mengajak saya berbicara lebih dulu.
"Eh, iya, baik. Kak Arga gimana?" jawab saya. Saya yakin itu hanyalah sekadar pertanyaan basa-basi. Saya rasa pertemuan saya dan Kak Arga yang terakhir tidak selama itu. Walaupun pertemuan kami itu tidak berlangsung dengan baik.
"Baik juga." balas Kak Arga dengan seulas senyum di bibirnya.
Sumpah, saya sampai sedikit melototinya karena terlalu terkejut dengan senyuman yang ia berikan. Saya jadi bingung, bukannya dia tidak suka kepada saya? Maksudnya—hubungan saya dan dia tidak begitu baik—apalagi setelah terakhir bertemu. Saya pikir, Kak Arga tidak akan pernah mau lagi tersenyum kepada saya. Jadi, tidak salah kan, reaksi saya berlebihan saat melihatnya tersenyum sekarang?
"Kok Kak Arga mau ikut ke acara kayak gini?" tanya saya. Entah dari mana keberanian saya untuk bertanya itu berasal.
Kak Arga tersenyum kecut, senyuman yang memiliki makna sedih di baliknya. Saya tahu itu, tapi tidak berani bertanya lebih lanjut.
"Kalau enggak ikut, gitar-gitar gue mau dihancurin katanya." balas Kak Arga kemudian, sambil tertawa.
Cara tertawanya pahit dan dibuat-buat, ada unsur keterpaksaan. Saya tahu ia sama sekali tidak menganggap hal itu lucu. Pantas saja raut wajahnya dari awal ia datang hingga sekarang jelek.
"Aku pikir Ayah adalah Ayah yang paling egois di dunia. Tapi ternyata enggak ya?"
Kak Arga menatap saya lagi, kali ini dengan pandangan yang tertarik untuk melanjutkan konversasi. "Bener. Gue pikir bokap gue adalah bokap yang paling egois. Dari dulu bokap enggak pernah suka gue jadi musisi."
"Kenapa? Musisi kan bukan sesuatu yang buruk."
"Bener." sahut Kak Arga tiba-tiba terlihat antusias. "Emang jadi musisi tuh salah banget ya?"
Saya menggeleng. "Enggak kok. Musisi bikin orang seneng sama terhibur. Contohnya, waktu aku lagi sedih dan sepi, aku dengerin lagu-lagu biar seneng lagi."
"Tuh, gue juga." celetuk Kak Arga. Kali ini, raut wajahnya terlihat lebih hidup, hingga membuat saya tertegun. Ternyata, Kak Arga secinta itu dengan musik.
"Musik tuh kayak temen gue. Tapi juga bikin gue jadi orang yang rajin." kata Kak Arga lagi.
"Kenapa rajin?"
Kak Arga tiba-tiba ketawa, dan lagi-lagi membuat saya tercenung. "Dulu waktu SMP, gue pengin beli gitar tapi enggak punya duit. Gue pengin belajar main gitar. Tapi papa bikin perhitungan, katanya kalau nilai ujian gue dapat nilai bagus, Papa bakalan kasih gue gitar."
"Terus? Kak Arga belajar supaya dapat nilai bagus?"
"Iya! Cuma demi gitar. Abis itu gue enggak pernah belajar lagi sih kecuali mau ujian doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Will He
General Fiction[Completed] Kata orang, cinta pertama itu hanya omong kosong. Tapi kalau kata saya, kita enggak tahu kalau enggak dicoba, kan? Begitu pula dengan cerita cinta pertama saya tentangnya, tentang seseorang bernama Arga Anggara yang dengan penuh harap s...