17

963 159 26
                                    

Kayla

Saya mengerjapkan mata beberapa kali saat dibuat bingung oleh kehadiran Kak Arga di depan saya, memberikan sebuah minuman kaleng dingin yang dia dapat entah dari mana.

"Buat lo."

Saya yang sedang terduduk di kursi karena kaki saya yang keseleo—karena kecerobohan saya sendiri, langsung mengambil minuman kaleng itu dan memandanginya sejenak. Masih mencoba untuk memahami maksud Kak Arga memberikan saya minuman ini.

"Sorry tadi enggak nolongin."

Ucapannya itu membuat saya mendongakkan wajah karena harus memandangi ia yang sedang berdiri dan jauh lebih tinggi dari saya. Padahal, saya sama sekali tidak mengharapkan ia menolong saya.

"Makasih." balas saya akhirnya, masih memandangi kaleng itu. "Ini buat diminum?" tanya saya setelah mengalihkan atensi.

Kak Arga mendengus dengan ujung bibir yang tertarik. "Enggak. Buat kaki lo."

"Oh...."

"Astaga, Kayla. Ya buat diminum lah?"

Saya mengerjapkan mata lagi lalu terkekeh pelan.

"Bokap gue mana sih? Lihat enggak?"

Saya ikut mengedarkan pandangan setelah Kak Arga berkata demikian. Tadi setelah Kak Kelvin memapah saya ke sini, Kak Kelvin pergi karena dipanggil oleh Ayah. Awalnya, Kak Kelvin tidak mau meninggalkan saya. Tetapi Bunda memaksa. Dan saya yakin, Om Pandu ada di sekitar sana.

Saya menengok kepada Kak Arga. Dia tak lagi mencari sosok Om Pandu. Atensinya kini teralihkan sepenuhnya kepada ponsel dengan alis mata yang saling bertautan. Saya tidak tahu apa yang sedang ia baca, tetapi Kak Arga terlihat gelisah akan suatu hal. Kakinya pun tak berhenti ia gerakkan sedari tadi. Bukankah itu tanda orang sedang gelisah?

"Kak Arga kenapa? Ada yang penting?" Maka, saya beranikan diri untuk bertanya. Untunglah, Kak Arga menoleh kepada saya tak lama setelah saya bertanya.

"Enggak juga sih. Tapi, butuh cepet ketemu sama Papa."

Setelah jawaban yang ia berikan, kami sama-sama terdiam lagi. Saya ingin membantunya, entah apa pun urusannya. Tetapi, saya ingin membantu. Saya beranjak dari kursi dengan hati-hati. Tapi, lagi-lagi saya ceroboh dan malah oleng ke arah Kak Arga.

"Eh—"

Ketika saya pikir dia tidak akan menangkap saya, Kak Arga malah melakukannya. Ia menahan punggung saya agar saya tidak jatuh. Seketika, wajah dan punggung saya terasa panas. Jantung saya berdetak tak karuan.

"Lo enggak apa-apa? Sakit banget?"

Saya menggeleng dan Kak Arga malah membantu saya untuk duduk lagi.

"Lo mau ke mana sih? Kalau sakit duduk aja."

"Mau... Cariin Om Pandu."

Karena ucapan saya yang—mungkin sama sekali tidak bisa Kak Arga tebak, ia sedikit tercenung lalu tersenyum kecil. "Ngapain elo yang nyariin? Enggak usah repot-repot, Kay. Duduk." ujarnya menyentuh pundak saya. Saya tidak tahan untuk mengulum senyum lagi.

"Arga."

Saya dan Kak Arga sama-sama menoleh ke sumber suara. Itu Kak Vina—apa yang Kak Vina lakukan di sini? Apa dia melihat Kak Arga yang membantu saya?

"Vina—"

Saya tahu, saya tidak boleh terlalu senang hanya karena Kak Arga membantu saya. Kak Vina tiba-tiba berjalan cepat ke arah saya dan detik itu juga, saya merasakan panas di pipi kiri saya. Panas dan juga nyeri. Kak Vina menampar saya.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang