06

1.2K 200 16
                                    

Kayla

"Kak Agin!"

Saya langsung memeluk erat Kak Aginta—pacarnya Kak Kelvin yang baru dua bulan belakangan ini resmi berstatus demikian. Walau begitu, Kak Agin benar-benar seperti sudah lama hadir di keluarga ini. Kak Agin ceria dan baik hati, sangat cocok untuk Kak Kelvin yang terkadang tidak bisa mengontrol emosinya.

"Kaylaaa! Kamu apa kabarnya? Udah lama enggak main bareng."

Saya mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar. Saya juga lupa kapan terakhir bertemu dengan Kak Agin.

Hari ini, Bunda masak banyak. Soalnya Kak Kalina dan suaminya, Mas Farhan—sedang bertamu ke rumah. Oh, jangan lupakan keponakan saya yang bernama Nada alias Nana. Nana baru saja berumur tiga tahun dan sedang gemas-gemasnya.

Kak Kalina menikah di akhir kelas sembilan saya. Saat melihat Kak Kalina menikah, saya menangis tersedu. Kak Kalina itu sudah mengajari saya banyak hal—termasuk bagaimana caranya membuat kue yang enak.

"Kak Agin lagi sibuk-sibuknya ya? Aku lihat di Instagram."

Kak Agin tersenyum miring—tetapi lebih terlihat sedang menggoda saya. "Ciyeee, udah jadi anak Instagram nih sekarang. Rajin banget lagi mainnya."

Saya menyengir, tidak menampik perkataan Kak Agin barusan. "Seru ternyata, Kak."

"Oh iya, aku baru beli novel baru," sahut Kak Agin sembari mengeluarkan novel tebal dari tote bag-nya dan menyerahkan benda itu kepada saya. "Kali aja kamu mau baca."

"Makasih, Kak Agiiin! Kebetulan, aku baru selesai namatin novel."

"Kalau udah ada Agin, aku pasti dicuekin deh."

Saya dan Kak Agin kemudian sama-sama menoleh kepada Kak Kelvin yang baru saja menghampiri kami di ruang keluarga. Kak Agin dan saya memiliki sedikit persamaan dalam hal membaca. Sama-sama menyukai novel dengan tema yang menarik.

"Hahahaha. Kak Kelvin enggak boleh cemburu!" ujar saya membuat Kak Kelvin tersenyum dan mengusap kepala saya berkali-kali.

"Padahal, Kakak loh yang lebih kangen kamu, Dek."

Saya tersenyum lebar. Kak Kelvin memang suka begitu. Padahal beberapa hari yang lalu, ia masih menjemput saya di sekolah. Tapi setelah mengantarkan saya pulang, Kak Kelvin pergi lagi ke kontrakkan milik temannya yang lebih dekat dengan kampus. Kak Kelvin memang lebih sering menginap di sana dibanding di sini.

Ngomong-ngomong soal hari itu, saya jadi teringat dengan payung yang dipinjamkan oleh Saka—yang belum saya kembalikan sampai sekarang dan masih tersimpan dengan manis di loker sekolah.

Saya tidak punya waktu yang pas untuk mengembalikan benda itu. Sebab, Saka selalu saja dikelilingi oleh teman-temannya, termasuk Bayu. Saya tidak punya muka yang tebal untuk menghampirinya pun saya tidak menceritakan apa-apa kepada Dina—karena saya yakin dia akan sangat heboh.

"Dek, kok ngelamun?"

Saya cepat-cepat menggeleng, "Kak Kelvin malem ini tidur di rumah enggak? Kan ada Kak Kalina terus ada Nana pula."

"Males." balas Kak Kelvin. "Buat apa pulang kalau cuma buat dengerin Ayah berisik."

"Kel, jangan gitu." tegur Kak Agin.

Saya cuma tersenyum simpul. Kalau jadi Kak Kelvin pun, saya tidak akan mau berlama-lama di rumah hanya untuk mendengarkan celotehan dan paksaan Ayah. Maka dari itu setelahnya, saya memutuskan untuk tidak berkomentar apa pun lagi.

"Assalamualaikum!"

Saya langsung mengerjap dan berlari untuk membukakan pintu—yang ternyata sudah dibuka lebih dulu oleh Kak Kalina. Senyuman saya melebar begitu melihat Nana berjalan tertatih masuk ke dalam rumah.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang