26

926 152 16
                                    

Kekurangan yang Vina miliki tidak akan bisa menutupi kelebihan yang Arga miliki. Vina tahu bagaimana ia tidak akan bisa berdiri di samping Arga. Dan sebenarnya, Vina tahu diri. Namun kebaikan dan perhatian yang Arga berikan padanya saat SMA itu, mampu membuat hatinya luluh. Dan sedikit demi sedikit, Vina berhasil merubah dirinya.

Sungguh, Vina percaya ia telah berubah dan jauh dari kehidupan suramnya saat SMA. Tapi siapa yang sangka, ayahnya tiba-tiba hadir kembali dan merusak kebahagiaannya yang baru? Dan saat Vina merasa bahwa ia siap, benar-benar siap meninggalkan kehidupan kelam itu, Vina sadar, ia bisa kehilangan Arga kapan saja. Termasuk tentang keluarga Arga yang tidak pernah suka kepadanya.

Walau pada akhirnya, Vina benar-benar kehilangan Arga. Vina menyia-nyiakan kesabaran yang Arga berikan selama bertahun-tahun. Dan Vina yang paling tahu, dia tidak akan pernah bisa mendapatkan Arga lagi.

"Ngapain di situ gelap-gelapan?"

Vina menghembuskan asap rokoknya ke udara dan mematikan api pada puntungnya. Perempuan itu tersenyum miring melihat kedatangan Edo, tetangga di depan rumahnya yang akhir-akhir ini bak pahlawan kesiangan. Setidaknya, bagi Vina, Edo terlihat seperti itu. Tapi tidak untuk mama dan adiknya. Kehadiran Edo saat itu, sungguh amat berarti.

"Gue enggak gelap-gelapan," balas Vina kemudian sembari menggeser posisi duduknya, mempersilahkan Edo untuk duduk di sampingnya. "Emang lampu terasnya aja yang remang. Enggak diganti-ganti."

Edo terkekeh pelan dan duduk di sebelah Vina. "Ngerasa enggak sih, Kak? Rumah lo kayak rumah hantu."

"Ngerasa sih. Udah rumah lama, suram pula. Emang banyak setan kayaknya di dalem."

Edo tersenyum kecil, "Tante Linda katanya ke Purwokerto? Sama Adel ya?"

"Enggak. Sendirian aja. Adel mah di dalem. Lagi tidur."

Edo mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali sambil bergumam. Lelaki itu menolehkan kepalanya dan memandangi Vina dengan seksama. Perempuan itu kembali menikmati rokoknya dalam diam. Pandangannya menerawang entah ke mana.

"Lo lagi stres?"

"Gue tiap hari stres," Vina tersenyum tipis, "Tapi udah mendingan karena Mama akhirnya bawa gue ke rumah sakit."

"Berdua aja?"

Vina menggeleng. Ia terdiam sesaat, merasa ragu untuk mengucapkan nama Arga. Karena nama itu, tak lagi sama untuknya. "Sama Arga. Atau kadang-kadang sama Sarah dan Ben."

"Bukannya lo bilang, lo dan Bang Arga putus?"

"Iya." Vina terdiam sebentar, teringat bagaimana Arga sebisa mungkin membantunya lagi. Padahal, Vina tidak ingin Arga terlalu memaksakan diri. "Gue enggak ngerti kenapa dia masih kayak gitu. Kita enggak bakalan bisa jadi teman."

"Mungkin dia masih sayang sama lo, Kak."

Mendengar ucapan Edo, membuat Vina tertawa kecil. Ucapan Edo tersebut sama persis dengan apa yang Sarah ucapkan kepadanya beberapa hari lalu. Bagaimana Sarah bersusah payah untuk menghiburnya, memberinya harapan kecil bahwa ia masih bisa untuk bersama dengan Arga. Namun Vina tidak senaif itu. Vina tahu, walaupun ia berubah menjadi yang lebih baik, mereka tidak akan bisa bersama lagi.

"Gue ini jahat, Do. Arga enggak cocok sama gue."

"Lo bener-bener bikin gue inget, sama gue yang dulu."

Vina mengalihkan atensinya kepada Edo. Lelaki itu terlihat sedang berusaha mengingat, mengingat masa lalunya yang ia bilang hampir mirip dengan Vina. Karena itulah, ia tergerak untuk membantu keluarga Vina.

"Apa lo juga punya orang yang bantuin lo?" tanya Vina tertarik.

Edo terkekeh pelan lalu menggelengkan kepalanya. "Enggak yang seperti itu. Gue cuma punya Mama saat itu. Tangisan Mama yang bikin gue jadi orang yang kayak sekarang."

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang