48

1.4K 174 36
                                    

Kayla

Karena sedang hamil, saya jadi jarang sekali bertemu dengan Kak Ara dan Kak Acha. Karena bawaan ketika hamil, saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermalas-malasan di rumah. Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ikut mengumpul dengan mereka. Sebulan yang lalu? Atau dua bulan yang lalu?

"Kirana enggak bakalan dateng pas aku nikah nanti." kata Kak Acha lalu menghela napasnya. Sekarang, kami memisahkan diri dengan yang laki-laki. Soalnya di meja itu, Kak Riyan sedang merokok lalu meminta kami untuk masuk ke ruang VIP saja.

Berbicara tentang Kak Kirana membuat saya teringat dengan Calista juga. Walau sudah berbulan-bulan berlalu, tetapi saya masih amat sangat menyayangkan perpisahan mereka dengan Kak Riyan dan Kak Fares. Sampai sekarang, Kak Acha atau Kak Ara masih berusaha untuk mengajak Calista berkumpul—kecuali dengan Kak Kira, karena ia sekarang tinggal di Palembang.

"Ya mau gimana lagi," balas Kak Ara setelah menyeruput minumannya. "Dia udah enggak di sini lagi, kan?"

"Tapi, gue sempet denger dari Dion. Katanya, Kira bakalan tinggal di sini lagi." balas Kak Acha tiba-tiba dengan antusias.

"Masa?" Kak Ara tak kalah senang. Tapi kesenangannya itu tak berlangsung lama seiring dengan perubahan ekspresi di wajahnya. "Kalaupun dia ke sini lagi, kayaknya dia enggak bakalan main lagi sama kita. Sumpah, gue kangen banget kita berlima."

Saya diam-diam menyetujui ucapan Kak Ara. Rasanya sungguh berbeda saat kami berlima dulu. Walau saat itu hubungan saya dan Kak Arga tidak begitu berjalan dengan baik, tetapi setidaknya masih ada Kak Kira dan Calista.

Saya jadi teringat dengan hari itu, hari di mana saya mengatakan kepada Kak Arga kalau saya hamil. Hari itu, saya sangat ketakutan jika Kak Arga menolak saya. Tetapi ternyata, ketakutan saya itu hanya kekhawatiran saya saja. Sebab, Kak Arga mengatakan bahwa ia menyayangi saya dan meminta saya untuk mempercayainya.

Hari itu dan seterusnya, Kak Arga menunjukkan perubahan yang besar dan membuat saya bertanya-tanya apakah ini nyata atau tidak.

"Aneh..." gumam saya kala itu saat melihat Kak Arga di kamar saya—kamar kami.

"Aneh apanya?"

Hari itu Kak Arga terlihat biasa saja. Dan seperti biasa, hanya saya yang merasa semuanya aneh. Sebab sekarang ia sedang tidur di kamar utama dan memandangi saya dengan bingung yang masih berdiri di depan pintu.

"Ng... Kak Arga kok tidur di kamar ini?" Bodoh. Pertanyaan saya malam itu sangat bodoh sebenarnya. Entah karena saya sudah terbiasa dengan kami yang tidur terpisah atau entah karena saya masih merasa ini semua tidak nyata.

Sesuai dugaan saya, Kak Arga tertawa renyah. "Jadi, kamu pengin aku tidur di kamar sebelah lagi? Kalau gitu aku—"

"Eh, enggak, enggak, Kak!" Saya dengan cepat menunjukkan kedua telapak tangan saya sebagai sebuah tanda agar ia tetap di sana. Ia tersenyum jahil lalu mengurungkan niatnya untuk bangkit dari tempat tidur.

Kak Arga kemudian menepuk ruang kosong di sampingnya di atas tempat tidur itu. "Sini, Sayang."

Saya tidak tahu semerah apa wajah saya saat itu. Dibuat salah tingkah, saya langsung menutup pintu dan menguncinya lalu berjalan naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut. Mendengarnya memanggil saya dengan sebuah panggilan khas membuat jantung saya berdebar.

Ketika saya sudah berbaring, Kak Arga masih belum mematikan lampu tidurnya dan terlihat sedang mencoret-coret sesuatu di buku kecil—yang biasa ia gunakan untuk membuat jadwal latihan atau manggung.

"Kak Arga enggak tidur?"

"Bentar lagi. Aku mau ganti-ganti jadwal dulu."

"Buat apa?"

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang