"Kamu keterlaluan ngomong kayak gitu di depan mereka, Arga."
Arga berdecak sekecil mungkin, agar bentuk protesannya itu tidak terdengar lagi oleh sang ibu. Arga sudah mendengar teguran itu sejak perjalanan pulangnya dari rumah Kayla. Rita tidak henti-hentinya memarahi Arga.
Rita juga berkata bahwa ia harus bersyukur yang pergi dengannya adalah sang ibu, bukan ayahnya. Jika saja di sana ada Pandu, maka Arga tahu persis apa yang akan papanya itu lakukan. Bisa saja Pandu dengan nekat menghancurkan gitar-gitar Arga, lirik-lirik lagu yang ia tulis, dan apa pun itu yang berkaitan dengan musik.
"Mama enggak ngerti kenapa kamu enggak sopan kayak gitu, Ga. Suka mancing keributan di depan umum. Pantas aja papa kamu makin enggak suka sama Vina." ucap Rita saat akhirnya mereka tiba di rumah.
Arga mengernyitkan dahi. Sejak tadi ia enggan bersuara. Tapi begitu mendengar nama Vina disebut, Arga tidak bisa berpura-pura untuk tidak mendengar itu. "Kenapa bawa-bawa Vina?"
"Jangan pikir Mama enggak tau kalau dia waktu SMA dulu suka berantem sama orang bahkan hampir dikeluarin dari sekolah."
"Vina enggak kayak gitu lagi sekarang, dia udah berubah."
"Enggak ada orang yang segampang itu berubah, Ga."
"Ma!"
Rita tidak peduli. Ia menutup pintu mobil lumayan keras dan Arga melihat ibunya itu membuka pagar tanpa repot-repot menggeser pagar agar Arga bisa memarkirkan mobilnya ke dalam, seolah Rita tahu bahwa anak satu-satunya itu tidak akan mau masuk ke rumah sekarang. Atau malah sudah menduga Arga akan menginap di rumah salah satu temannya.
"Shit!" Arga memukul setir mobilnya kuat dan mengusap wajahnya kasar. Tak lama setelah itu, ia kembali mengemudikan mobil dengan kasar.
-ooo-
Arga memarkirkan mobilnya di depan rumah Vina. Rumah itu tampak gelap—seperti biasanya. Tampak suram dan tidak bisa di-dekati. Arga kemudian melepas sabuk pengamannya dan bermaksud untuk turun dari mobil. Lelaki itu bergeming, saat ia tiba-tiba mendengar teriakan kencang dari dalam sana.
Tak lama setelah teriakan itu, sosok Herman, ayah Vina, berlari keluar dengan tergopoh-gopoh dan terlihat Vina yang berlari mengejarnya bahkan menarik baju lelaki itu kasar. Melihat itu, Arga segera turun dari mobilnya.
"Papa! Siniin uangnya! Itu uang buat bayar uang kuliah aku! Sama sekolahnya Adel!" teriak Vina berusaha merebut kembali apa pun itu yang diambil paksa oleh Herman.
Herman kemudian mendorong Vina dan berteriak. "Kuliah apaan, sih?! Buat apa kamu kuliah?! Enggak penting! Mending kamu cari uang aja sana!"
"Pa—"
"Balikin uangnya, Om." sahut Arga menyudahi perseteruan ayah dan anak itu. Vina menoleh untuk menatap Arga dengan air mata yang berlinang di wajahnya. Pipinya tampak memerah akibat pekas pukulan. Bukan hanya itu, lengannya pun membiru dan Arga tahu semua itu karena apa.
Herman berdecak lalu menatap Vina. "Kamu punya pacar yang kaya, kenapa enggak sekalian nikah aja sama dia? Enggak guna jadi anak."
Arga tertawa tak percaya dan menatap Herman sinis. "Di sini kita tahu siapa yang paling enggak berguna."
Herman terdiam lalu menatap Arga ragu. Arga mengulurkan tangannya dalam diam kepada Herman. Lelaki itu berdecak kesal lalu melempar uang-uang yang ia rebut paksa dari ibu Vina. "Awas kamu ya, Vin. Habis kamu malam ini!"
"Sebelum Om lakuin itu mungkin ada baiknya aku—"
"Jangan, Ga. Jangan."
Herman membuang ludah ke sembarang tempat lalu berlalu pergi dengan motor tua miliknya. Entah sudah berapa kali Arga mengancam Herman untuk menelepon polisi. Tapi hal itu selalu saja dilarang oleh Vina dan keluarganya. Alasannya sederhana. Mereka tidak tega dan berharap suatu hari nanti Herman akan berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Will He
Ficción General[Completed] Kata orang, cinta pertama itu hanya omong kosong. Tapi kalau kata saya, kita enggak tahu kalau enggak dicoba, kan? Begitu pula dengan cerita cinta pertama saya tentangnya, tentang seseorang bernama Arga Anggara yang dengan penuh harap s...