46

1.4K 174 24
                                    

Kayla

Bali. Dari sekian banyak kota yang ada di Indonesia, Papa dan Mama menghadiahi kami dengan dua tiket berlibur ke Bali.

Kami pikir, masalah akan selesai dengan hubungan saya dan Kak Arga yang sudah membaik. Kami sudah bertegur sapa, bercerita layaknya teman, melindungi satu sama lain, dan saling memberi perhatian yang hangat. Semua telah terjadi di antara saya dan Kak Arga. Dan saya tidak sanggup untuk meminta lebih, karena saya begitu bahagia sekarang.

Tapi, kebahagiaan saya dan Kak Arga itu hanya sesaat. Ketika kami berpikir bahwa mereka—Ayah, Bunda, Papa, dan Mama—tidak akan ikut campur lagi dalam hubungan ini, ternyata kami salah. Kami melupakan sesuatu yang paling penting yang seharusnya sangat dinantikan oleh orang tua kami.

Mereka menginginkan cucu, dan kami belum mampu mewujudkan itu.

Tidak, kami berdua sangat sehat, Alhamdulillah. Tidak ada yang salah dari kami berdua. Hanya saja, sejak menikah hingga sekarang, kami memang belum pernah melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh suami istri ketika mereka sudah menikah. Lagipula, Kak Arga tidak pernah menyentuh saya. Kami tidur di kamar yang terpisah.

Kalau mereka tahu, apa yang akan terjadi ya? Apa mereka akan marah besar? Apa Ayah akan membenci Kak Arga? Atau Papa merasa malu kepada Ayah? Entahlah, saya tidak benar-benar berani memikirkan kemungkinan itu.

Makanya, demi memuaskan keinginan mereka, kami menerima hadiah ini dan pergi ke Bali. Jujur saja, saya sangat senang, karena saya belum pernah pergi berdua saja dengan Kak Arga.

Tapi rupanya, kesenangan saya memang tidak diperbolehkan untuk berlangsung lama. Sebab, Kak Arga mengambil satu kamar lagi tepat di samping kamar yang dihadiahi oleh Papa dan Mama. Kecewa, tentu saja. Marah? Tentu saja. Menyerah? Entahlah.... Saya tidak tahu.

Apa Kak Arga sampai segitunya tidak mau menyentuh saya?

Saya menghela napas. Rasanya, saya sudah terlalu capek untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang sebenarnya sangat tidak boleh saya pikirkan. Bahkan, itu belum tentu benar. Tapi, masa sih, sudah selama ini dan hubungan kami membaik, Kak Arga masih belum menyukai saya? Rasanya... Tidak mungkin.

Saya melirik ke arah Kak Arga yang sedang bersantai di kursi panjang di pinggir pantai dengan kacamata hitamnya dan tentu saja membuatnya agak sedikit mencolok. Saya mendengus. Sepertinya memang hanya saya yang pusing sendiri.

"Kayla?"

Saya menoleh ke belakang dan membulatkan mata, untuk melihat Bayu ada di sini, di depan saya, setelah bertahun-tahun lamanya tidak bertemu.

"Bayu?!" Bayu tertawa, ia juga sama kagetnya seperti saya.

"Sumpah, kocak banget. Enggak nyangka ketemu lo di sini!" Bayu tersenyum lebar dan mengangkat tangannya dan membuat saya menepuk tangannya itu. "Lo apa kabar? Baik kan? Ke sini sama siapa?"

"Bayu tuh, yang enggak pernah pulang." sahut saya. "Aku ke sini sama Kak Arga, Bay."

Bayu tiba-tiba menepukkan kedua tangannya. "Iya, ya! Lo kan udah nikah! Aduh, Saka pasti patah hati deh."

Saya tertawa. "Apaan sih, Bayu?!"

"Sebenernya enggak heran banget sih, Kay, tapi tetep aja gue enggak nyangka. Bang Kelvin gimana? Nangis waktu lo nikah?"

"Enggak lah!"

"Enggak salah lagi?" kata Bayu dan membuat saya kembali tertawa, begitu pula dengan dia.

Setelah berbincang-bincang dengan Bayu karena sudah lama tidak bertemu, Kak Arga datang menghampiri kami. Yang membuat saya kaget adalah, ekspresi tak suka yang Kak Arga tunjukkan kepada saya dan Bayu. Bahkan setelah Bayu pergi pun, ia masih menunjukkan ketidaksukaannya itu.

Will HeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang