Arga
"Ga, buruan ke Reville sekarang!"
Tadinya, gue mau balik lagi ke venue setelah dari rumah sakit tempat Om Ridwan dirawat. Tapi satu telepon dari Sarah—dengan suara yang panik, membuat gue segera membanting setir dan melaju ke arah Reville.
Gue enggak tahu apa yang terjadi. Tapi gue tahu, ini ada hubungannya sama Vina. Sarah pasti lagi lihatin Vina di Reville. Sebelum tiba di sana, gue segera menghubungi Ben—dan sebelum gue mengatakannya lebih dulu, Ben udah duluan ngasih tahu kalau dia sama yang lain udah jalan ke Reville.
Kalau mereka juga buru-buru ke sana, gue yakin ada yang enggak beres. Gue tiba-tiba takut, takut kalau Vina kembali kayak diri dia yang dulu waktu SMA. Vina yang hobi berantem dan hampir dikeluarin dari sekolah. Vina yang mencoba melakukan hal-hal yang enggak seharusnya dia lakukan. Vina yang rapuh, dan Vina yang mencoba untuk pergi ninggalin dunia karena merasa enggak pantas hidup lagi.
Susah payah gue memperbaiki dan membuat Vina merasa kalau dirinya pantas. Kalau dirinya layak untuk merasakan kesenangan di dunia ini. Kalau masih banyak yang sayang sama dia. Tapi nyatanya, yang bikin Vina kembali lagi ke kehidupan kelam itu, justru adalah gue sendiri.
Gue yang menghancurkan Vina.
Begitu gue tiba di parkiran Reville, gue langsung mengenali mobil CRV putih milik Ben terparkir di sana. Gue langsung berlari masuk ke dalam. Namun saat di depan pintu, gue melihat Ben dan yang lainnya, lalu Sarah, dan Vina yang sedang ada di punggung Manuel tidak sadarkan diri. Saat melihat gue, mereka dengan kompak berhenti berjalan dan menurunkan Vina.
Gue hanya diam sambil memperhatikan Vina yang sangat kacau. Pelipisnya terluka dan masih basah. Jelas sekali kalau dia habis berantem di dalam sana.
"She's drunk," Sarah seolah-olah tahu apa yang sedang gue pikirin dan dia langsung ngomong tanpa gue minta. "Dia berantem sama orang di sana."
"Orangnya?"
"Mabuk juga." Cetta menjawab pertanyaan gue.
Gue menghela napas lega. Karena itu lebih baik daripada Vina melukai orang yang sadar lalu orang tersebut meminta ganti rugi. Gue menatap Vina yang sekarang ada di dalam pelukan gue. Sebenarnya, gue seneng kalau Vina bisa tertidur lelap seperti sekarang. Dia enggak harus mikirin hal-hal yang enggak perlu. Di dalam tidurnya, Vina bisa bebas bermimpi dan gue berharap dia selalu bisa menemukan mimpi indah di sana.
"Sarah..."
"Iya, gue tahu, Ga. Tanpa lo minta pun, gue pasti akan bawa Vina ke rumah gue."
Gue tersenyum menanggapi jawaban Sarah. Tuh kan. Vina memang harus tahu, masih banyak yang sayang dan peduli sama dia. Hidupnya itu sangat berarti buat orang-orang di sekitarnya. Buat gue juga.
"Ya, udah. Ben sama Sarah, balik sama gue aja."
Ben menganggukkan kepalanya lalu mengambil kunci mobil dari tangan gue dan merangkul Sarah untuk membawa ceweknya ke arah mobil gue. Sementara Manuel dan Cetta berjalan menuju mobil Manuel.
Gue sudah akan mengangkat Vina dan membawanya ke mobil. Tapi gumaman kecilnya menghentikan langkah gue.
"Pa..." gumamnya lirih. "Papa bilang... Aku enggak ada gunanya di hidup dia. Di hidup Mama sama Adel juga... Emang bener? Emang bener, Ga?"
Setelah mengatakan itu dengan pelan, dengan setetes air mata yang mengaliri pipinya yang memerah, Vina kembali tertidur lagi. Gue kemudian melanjutkan langkah kaki gue menuju mobil.
-ooo-
"Thanks, Sarah."
Gue enggak tahu, udah berapa banyak ucapan terima kasih yang gue ucapkan kepada Sarah. Sarah dan Ben, berperan banyak dalam membantu gue tentang Vina. Dari dulu hingga sekarang, mereka berdua selalu ada. Bahkan kadang gue ngerasa enggak enak udah selalu ngerpotin Sarah, walau anaknya selalu bilang 'enggak apa-apa'. Tapi tetep aja, gue takut udah gangguin waktu dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Will He
General Fiction[Completed] Kata orang, cinta pertama itu hanya omong kosong. Tapi kalau kata saya, kita enggak tahu kalau enggak dicoba, kan? Begitu pula dengan cerita cinta pertama saya tentangnya, tentang seseorang bernama Arga Anggara yang dengan penuh harap s...